Malam ini, lagi-lagi kurasakan hal aneh dan bau busuk yang menyeruak di setiap sudut jalan. Hawa dingin dan suara gonggongan anjing bersahutan menambah kesan seram. Bulu kudukk meremang, netra memicing di bawah cahaya yang temaram.
Aku tidak takut. Kukatakan sekali lagi aku tidak takut. Kupercepat langkah menyusuri jalan yang gelap dan pekat. Tidak ada sumber cahaya yang membantu, bahkan bulan seakan takut memancarkan sinar.
"Hei!"
Aku berbalik dan mendapati seorang gadis seusiaku. Dia berjalan mengendap-endap menghampiriku. Wajahnya terlihat waspada dan ketakutan. Tangannya tiba-tiba membekap mulutku lalu berbisik.
"Sstt ...! Kau ke sini lagi Luna? Sudah kuperingatkan jangan ke sini. Ah, sebaiknya aku mengantarmu pulang," bisiknya.
Aku tidak bergeming. Bagaimana bisa dia memanggilku Luna? Aku merasa tidak memiliki nama itu sebelumnya.
"Kenapa kau diam saja? Di sini berbahaya, ayo kita pulang!"
Gadis itu menarikku keluar dari jalanan yang gelap. Mulutnya tak henti-hentinya mengoceh. Entah apa yang dia maksud, aku tak mengerti.
Aku terbangun mendengar siulan burung di luar sana. Berkali-kali kukejapkan mata memastikan tempat ini adalah kamarku.
Lagi, setiap pagi kudapati kedua tangan dan kaki terikat ke sisi ranjang. Aku berteriak, meronta, menangis, dan tiba-tiba terbahak-bahak sendiri. Hingga datang seorang wanita paruh baya membawa nampan dan sekotak obat.
"Luna, makan dulu ya Sayang ... habis itu minum obat. Ibu masak menu yang enak loh hari ini."
Wanita itu membelai rambutku dan menatapku sendu. Ada drama apa ini? Aku kenapa? Aku sakit apa? Wajahnya mirip sekali dengan sosok yang ada di foto. Dia tengah menggendong gadis kecil waktu itu.
"Lily mengantarmu pulang semalam. Dia melihatmu berjalan sendirian di jalanan gelap. Luna Sayang, kalau kamu ingin keluar, bilang sama Ibu ya ...," tuturnya sambil tersenyum.
Aku membisu, tak pernah kulontarkan sepatah kata pun setiap dia berbicara. Bagiku dia sangat asing, tapi mengapa dia begitu peduli terhadapku?
***
Kutengok dua remaja seusiaku dari balik jendela. Mereka mengenakan seragam yang sama, dan menggendong ransel di punggung. Aku menatap diriku dari pantulan cermin. Lusuh dan ... menjijikkan. Mengapa aku tak seperti mereka? Bukankah seharusnya aku sekolah?
Kubuka lemari pakaian yang telah usang. Banyak debu di setiap pakaian yang menggantung. Kamarku berantakan sekali dan tak terurus. Kata ibu, aku yang mengacak-acak kamarku sendiri dan mengamuk.
Beberapa seragam sekolah tertata rapi di lemari. Bahkan masih terlihat cantik dan menarik. Hiasan dasi pita di kerah lehernya dan rok pendek lucu bermotif kotak-kotak.
Tiba-tiba kepalaku pening seakan ada yang menghantam. Tubuhku terjungkal dan membentur lantai.
Aku terbangun di sebuah tempat yang asing. Kakiku terpasung dengan banyak darah yang mengucur. Sadar, aku berada di balik jeruji besi. Datang seorang wanita menangis dan meneriaki namaku dari balik sel.
"Luna ... Ibu menyayangimu!"
Itulah kalimat yang diucapkannya sebelum seorang pria yang kuduga adalah penjaga tahanan menariknya kasar. Nafasku tersengal-sengal. Sekelebat bayangan kejadian melintas di kepalaku.
"Hei!"
Suara gadis itu terdengar lagi. Lily menarikku kasar. Dia menggenggam tanganku dan membawaku pulang. Gadis itu kembali mengadu pada ibuku. Aku mengamuk. Mengacak semua barang yang ada. Lily mengambil gulungan tali. Tangan dan kakiku terikat di ranjang. Mereka pergi, meninggalkanku di ruangan yang gelap ini.
"Luna," panggil seorang perempuan cantik membawa nampan berisi makanan.
Dia membuyarkan lamunanku. Ingatanku kembali kacau. Ah ... aku menjerit merasakan sakit seperti ada yang mengacak-acak isi otakku.
"Luna, tenanglah!"
Perempuan itu menggoyangkan bahuku pelan. Dia tersenyum manis. Manik matanya sangat meneduhkan.
"Makanlah dulu, kau pasti sangat lapar," ucapnya sambil menyodorkan sesendok nasi.
"Tidak!"
Aku menangkis tangannya membuat sendok terlempar dan nasi berceceran di lantai.
Dia memungut sendok yang tergeletak, lalu mengelapnya. Dia sangat penyabar. Meskipun begitu, dia tetap menatapku ramah.
"Luna, aku tahu kau sangat tertekan," ucapnya seraya mengelus rambutku.
Aku membisu, cukup menyimak setiap kalimat yang diucapnya. Sesekali mengangguk atau menggeleng sekedar merespons. Dia bercerita banyak tentang kisah hidupnya. Namanya Naila, bekerja sebagai pelayan rumah sakit jiwa.
"Kak, bagaimana aku bisa berada di sini?" tanyaku lirih.
"Ah, kau tidak ingat? Pasti sangat sulit memiliki kepribadian ganda."
"Sesuai informasi yang aku dengar, semalam kau membunuh temanmu. Dan beberapa jam yang lalu, ditemukan tumpukan mayat dengan bagian tubuh yang berserakan di pinggiran jalanan gelap. Dari mayat tersebut ditemukan sidik jari yang sama denganmu," jelasnya panjang lebar.
Aku menaikkan alis. "Maksudmu Lily? Dan bagaimana bisa aku membunuh banyak orang?" tanyaku lagi.
Naila menghela nafas lalu mengangguk. "Kau mencekik Lily dengan tali, lalu merobek mulutnya. Dan mayat di pinggir jalan itu, katanya setiap malam kau selalu ke sana sehingga diduga kau memutilasi setiap orang yang lewat dengan kapak."
"Sudah, cepatlah makan, akan kuceritakan lagi nanti," sambungnya.
***
Aku berjalan di tengah malam yang sunyi di antara jalanan yang gelap dan hawa dingin yang menyeruak. Suara geretan kapak melengking indah, menggesek ke setiap bahu jalan.
Cerat!
Cipratan cairan anyir menodai pakaianku. Jalanan tampak manis dengan lumuran darah yang merembes dari kepala manusia yang baru saja kutebas. Tak sempat kudengar teriakan nyaring yang menurutku bagaikan alunan melodi.
Kepalanya tersangkut pada kawat-kawat pagar. Lidahnya menjulur keluar dengan mata yang hampir terlepas. Sedang tubuhnya telah kucincang dan dikemas ke dalam kantong keresek. Ini adalah hadiah khusus untuk ibuku di rumah.
Tak terhitung berapa banyak daging yang kusumbangkan pada anjing-anjing liar. Mereka terus saja menggonggong sebagai ucapan terima kasih padaku.
Setiap malam, Lily selalu merusak kesenanganku. Aku belum selesai bermain. Tak tanggung-tanggung kuayunkan kapak ke paha kirinya. Dia meraung, meronta-ronta dan menyeret kakinya. Ini adalah pertama kalinya aku bermain dengan Lily.
Aku menyeringai, tersenyum puas dengan keadaannya sekarang. Tubuh cantiknya telah cacat dengan bacokan yang kubuat. Lily memekik, berteriak meminta tolong. Percuma, tak akan ada yang mendengar.
"Kau berteriak sama saja mengundang anjing-anjing liarku," ucapku menyeringai.
"Berhenti Luna! Aku temanmu!"
"Aku bukan Luna!"
Kemarahanku tak terkendali. Dia baru saja membangkitkan emosiku. Lily terlihat panik melihat arah kapak yang kuayunkan.
"Aaaahhh ...," rintihnya keras.
"Itu tak seberapa Lily, ini baru dimulai!" ucapku lalu tertawa hambar.
Kulirik segulung tali menggantung di sisi tas kecilnya. Tali itu ... untuk mengikatku setiap malam. "Kau harus menerima pembalasanku Lily!" pekikku.
Lehernya tercekik, kedua tangannya berusaha merenggangkan tali. Lihat, dia seperti seekor anjing yang sekarat. Kedua kakinya meronta-ronta. Tapi apa boleh buat, kematian menjemputnya.
Aku pulang. Tubuhku tak lagi terikat. Kudapati kedua kakiku dipasung. Aku berada di balik jeruji besi. Tuhan, apa yang telah kuperbuat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Horor
HororGenre : Horor, gore, dan creepypasta. Warning! Berbau kekerasan dan psikopat. 18+