Dilema

29 5 0
                                    

"Sae, jangan lupa nanti kamu minta tolong Lian untuk mengambil nasi kotak di warung makanku ya." Ucap Raka diujung telepon sana.

"Iya, tadi aku sudah bilang pada Lian, supaya dia mampir ke warung makanmu sebelum berangkat ke rumah singgah."

Hari ini, aku dan teman-teman pengajar sekolah informal di sebuah rumah singgah akan mengadakan acara perayaan hari anak. Raka menyanggupi saat aku memintanya untuk menyediakan nasi kotak untuk acara ini. Tetapi dia ada jadwal menjadi narasumber dalam sebuah seminar tentang bisnis kuliner di luar kota hari ini, sehingga tidak bisa mengantarkan makanan tersebut ke rumah singgah.

"Sudah dulu ya, aku sudah dijemput panitia seminar. Nanti setelah selesai seminar aku akan menghubungimu lagi. Bye."

"Bye."

Aku tadi sedang memakai bedak saat Raka menelepon. Aku lantas mematut diri lagi didepan cermin. Ujung kaus oblongku kumasukan kedalam celana jeans. Aku menyikat rambut panjangku lalu kuikat ekor kuda. Poniku yang sudah mulai panjang kujepit kebelakang menggunakan jepit rambut. Lalu kuambil sneakersku di rak sepatu.

Aku mendekati ibu yang sedang menyiram tanaman bunganya di halaman depan."Ibu, aku berangkat dulu ya" ucapku sambil mencium tangan ibu.

"Hati-hati dijalan. Jangan ngebut. Helmnya jangan lupa dikunci talinya sampai berbunyi klik."

Itu adalah nasihat rutin ibu setiap aku hendak bepergian menggunakan motor. Aku sampai hapal diluar kepala dengan nasihat tersebut.

***
Sepulang seminar, Raka mengajakku makan malam.

"Sae, kamu sudah bicara pada Bapak dan ibumu tentang pernikahan kita?"

Aku dan Raka sudah mantap menikah. Sekitar satu bulan yang lalu, Raka sudah menemui Bapak dan ibu untuk melamarku secara pribadi. Jika Bapak dan ibu mengizinkan, Raka akan segera melamarku secara resmi dengan keluarganya. Bapak tidak menolak namun juga tidak mengiyakan. Ibu yang kemudian berbicara dengan gamblang dan meminta kami untuk menunggu mba Dara dahulu.

Aku bingung, disatu sisi aku tidak ingin melangkahi Mbak Dara untuk menikah terlebih dahulu. Tetapi di sisi lain, aku dan Raka sudah sama-sama siap untuk menikah. Aku juga tidak mungkin meminta Raka untuk terus menungguku.

"Coba kamu yang bicara lagi saja dengan Bapak dan ibu tentang pernikahan kita. Aku sudah pernah berbicara dengan mba Dara tentang rencana kita menikah. Dia tidak keberatan jika aku menikah terlebih dahulu. Tetapi, kamu tahu sendiri lah, kita hidup di daerah yang masih kental dengan tradisi nenek moyang, dimana adik tidak boleh melewati kakaknya untuk menikah terlebih dahulu."

"Baiklah, besok kita cari waktu yang tepat untuk aku bertemu dan ngobrol dengan orangtuamu. Kita kan tidak mungkin memaksa mba Dara untuk segera menikah, dan kita pun tidak mungkin menunggu mba Dara menikah dahulu. Karena kita tidak bisa mendikte kapan jodoh kita datang."

Akhirnya malam Sabtu Raka menemui Bapak dan ibu lagi.

"Maaf pak, bu, mungkin ini terdengar lancang. Tetapi ibu saya sudah bertanya terus, kiranya kapan orangtua saya bisa melamar Saera secara resmi."

Aku yang duduk disamping ibu, hanya bisa terdiam mendengarkan obrolan mereka.

Bapak kemudian menjawab dengan tenang sesuai pembawaannya," Bapak dan ibu maklum dan paham dengan maksud keluargamu. Bapak dan ibu sebetulnya juga ingin kalian secepatnya menikah. Bapak nilai kalian sama-sama sudah siap untuk membangun rumah tangga. Tidak baik pula menunda-nunda niatan baik." Bapak lantas diam sejenak sebelum menanyakan pendapat ibu" Bagaiman ini bu?"

Pada dasarnya, Bapak orang yang berpikiran terbuka. Tetapi sebagai orang dengan pemikiran terbuka, membuat beliau selalu meminta pendapat ibu dalam pengambilan keputusan-keputusan tertentu. Beliau tidak pernah mengagungkan dirinya sendiri sebagai orang yang harus selalu dituruti perintahnya.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang