06

4.2K 642 39
                                    

Sudah hampir satu bulan, semua pesan yang (Namakamu) kirim tak ada yang dibalas oleh Iqbaal. Dibaca saja tidak. Hal itupun membuat (Namakamu) menjadi semakin merasa bersalah. Karena terlalu fokus pada Biru, (Namakamu) sampai lupa untuk mengantar Iqbaal ke Bandara. Menghubungi laki-laki itu untuk meminta maaf karena tidak bisa hadir saja (Namakamu) lupa!

"(Namakamu)?"

(Namakamu) terkejut. Ia memandang Biru sungkan karena tak mendengarkan ocehan laki-laki itu sejak sepuluh menit yang lalu. Otak (Namakamu) berkelana ke sembarang arah.

"Kenapa? Iqbaal lagi?"

Iya, Iqbaal marah sama aku Biru. (Namakamu) membuang jauh-jauh jawaban itu guna menghindari bahaya yang lain. (Namakamu) menggeleng sambil tersenyum tipis. "Biru masih aja, deh, ngambek soal Iqbaal. Aku 'kan udah bilang–"

"Iya, aku percaya, oke?" Biru lebih dulu menyela.

(Namakamu) tiba-tiba teringat sesuatu. Ia lantas bertany, "Biru, sebulan lagi kamu UN, ya?"

Biru mengangguk singkat.

"Kamu SNMPTN pilih apa?"

"Kedokteran di UI."

Wajah (Namakamu) berubah muram. Ia menggenggam tangan Biru di atas meja. "Jadi, keputusan kamu udah bulat?"

"Iya," Biru memejamkan matanya sejenak setelah meminum dan menghirup aroma tehnya. "Samudera Biru masih ingin melihat orang tuanya bahagia, karena kesempatan itu nggak datang dua kali. Soal bahagia milik Samudera Biru, mungkin bisa lain waktu."

(Namakamu) tersenyum kecil. "Aku yakin kamu bisa. Kamu 'kan, Samudera-ku yang paling hebat."

Biru tersenyum hangat. Namun senyuman itu tak bertahan lama, karena Biru tahu ada makna lain dibalik mata gadisnya. Ada rasa khawatir yang tidak ditujukan padanya. Dan Biru ..., bisa membaca hal itu.

***

(Namakamu) menggeram kesal saat bunyi dering ponselnya mengganggu telinga di waktu yang masih dini hari. Awalnya (Namakamu) mendiamkan panggilan tersebut, namun karena seseorang di ujung sana masih terus berusaha, maka (Namakamu) menjawab panggilan tersebut dengan telinga yang mengeluarkan asap.

"Siapapun lo, sumpah, ini jam dua pagi! Gue mau tidur! Telepon gue nanti siang, oke? Sekarang gue—"

"WOY INI GUE!"

(Namakamu) sontak membuka matanya lebar-lebar dan melihat nama si penelepon. "Iqbaal?!" Seru (Namakamu) senang.

"Kok suara lo jadi happy gitu? Cie lah, ada yang seneng gue telepon tengah malem nih ye ... Hahaha."

"Seneng palelu. Ngapain sih, gangguin gue? Mikir dulu kalau mau telepon, jangan asal pencet aja. Lo pikir timezone kita beda dikit?!"

"Iya-iya sorry. Gue cuman mau ngasih tahu. Sebulan kemarin hape gue hilang. Makanya gue nggak bisa dihubungin. Lewat DM sih bisa, tapi gue jarang ngecek. Males."

"Astagaa, hape lo hilang? Gila, lo tahu nggak sih? Gue kha—tunggu, ada suara cewek?" (Namakamu) menyatukan kedua alisnya. "LAGI SAMA SIAPA LO, KAMPRET?!"

"With my girlfriend, lah."

"Tai, pacaran mainnya di kamar."

"Daripada lo, jadian di toko buku."

"Masih bagusan gue, ya! Enak aja lo. Gue ini lebih bermoral!"

April. [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang