5 - Biang Onar

189K 14.8K 751
                                    

Jam istirahat berlangsung setengah jam di Sma Pelita Bangsa. Itu waktu yang cukup lumayan untuk tidur.

Tapi berhubung Habel memiliki bekal yang harus di makan asal di habiskan--jika tidak Mamanya akan mengamuk--terpaksa Habel harus berjalan menuju kantin.

Kantin tampak padat saat Habel baru menginjakan kaki di sana. Namun saat Habel berjalan masuk tiba-tiba hening melanda. Bahkan para fans Gentala yang tadinya berebut meminta tanda tangan atau berfoto ria memilih untuk undur diri.

Habel duduk di samping Kain, dengan tangan meletakan kotak bekal buatan sang Mama di atas meja.

Habel melirik Gentala yang membalas lirikan matanya, senyum terukir di wajah tengil Gentala.

"Kenapa jadi kayak patung semua?" Habel menatap semua masyarakat Sma Pelita Bangsa yang perlahan melanjutkan apa yang sempat tertunda karena kedatangan Habel. Membuat seketika semua orang kembali ke aktivitasnya sebelum Habel tiba.

"Tumben ke kantin." Dawai yang sejak tadi menatap Gentala dengan binar bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah tampan Gentala. Bisa nggak Gentala di bungkus terus di bawa pulang?

"Gue ke kantin salah, nggak ke kantin salah juga." Habel mendengus.

"Biasanya lo lebih pilih ke perpustakaan buat tidur daripada menerima ajakan kita bertiga." Alsya tidak jauh beda dari Dawai. Hanya saja cewek itu memotret setiap gerakan yang di buat oleh Gentala.

Habel berdecak. "Kalian ke kantin mau makan atau mau lihat artis abal ini?" Kesal melihat tingkah abstrud tiga temannya.

"Dia bukan artis abal, Habeliaku tersayang, tercinta!" Natcha satu-satunya diantara tiga temannya yang berbicara sambil menatapnya. Dua lainnya terfokus pada Gentala.

Habel berdecak. "Apa sih yang bagus dari cowok ini?" Habel menunjuk Gentala yang menopang dagu di atas meja. Gadis ini semakin menarik saja. "Lebih ganteng Shawn Mendes." Sahutnya malas.

"Gue pernah ketemu Shawn Mendes." Gentala tersenyum lebar saat Habel menoleh dengan kecepatan cahaya saat dia mengucapkan nama artis tampan itu.

Mata Habel menyipit. "Ketemu doang." Habel mengibaskan tangan. "Nggak usah sok terkenal." Habel mendengus. Tampaknya jika berlama-lama dengan si Kental bisa membuat Habel terus mendengus.

"Gue bahkan sering main tenis dengan Shawn." Gentala bahagia saat guratan rasa kesal timbul di wajah manis gadis itu.

Habel berdecak kesal. "Terserah lo!" Habel melipat tangannya di depan dada. "Ka, gue nggak mau makan. Lo aja yang makan." Habel mendorong kotak bekal buatan Mamanya hingga menyentuh lengan Kain yang berada di atas meja.

"Lo yang di kasih bekal, bukan gue." Sahut Kain, cowok berstatus ketua Osis itu menyedot es teh manis mengunakan sedotan, dengan lirikan, memperhatikan wajah cemberut Kakaknya.

"Nggak lapar, gue ngantuk." Habel menghela nafas pelan, lalu menguap. Matanya agak berair. "Jangan salahkan gue kalo gue bolos." Habel membuka penutup kotak bekal tersebut, lalu memakan isinya dengan perlahan.

"Bagi dong, Bel." Bumi, sepupunya mengambil sepotong roti dari kotak bekal Habel. Hanya dengan anggukan kepala Bahasa ikut mengambil isi kotak itu.

"Buku catatan gue mana?" Tanya Bahasa setelah menelan makanannya. "Gue mau belajar, besok ulangan." Habel tampak berfikir sejenak.

Habel menyengir. "Gue lupa. Lo tanpa belajar pun udah bisa pintar, Sa. Jadi nggak usah belajar." Habel mengibaskan tangannya.

Bumi mengangguk. "Gue setuju, sepupu." Jika Kain akan selalu dingin saat berbicara dengan Habel, berbeda dengan Bumi. Cowok dengan otak di atas rata-rata itu selalu senang berada di depan Habel. Alasanya karena keduanya banyak memiliki kesamaan. Jadi klop deh. Sepupu aquad.

Bahasa berdecak. "Kenapa lo nggak pinjam punya Kain aja sih? Atau Bumi."

"Tulisan lo yang paling bagus dari semua." Habel menyengir. Menepuk tangan Bahasa yang ada di atas meja. "Gue kasih bonus tanda tangan gue nanti."

Bahasa mendengus. "Gue nggak perlu itu." Bahasa memakan suapan terakhir rotinya.

Habel mengecutkan bibirnya. Saat bel masuk berbunyi dia melirik ke arah pintu lain yang berada di arah berlawanan dengan pintu masuk. Pintu yang biasa di gunakan oleh para penjual.

"Jangan coba-coba." Kain menarik tangan Habel yang hendak kabur melalui pintu lain. Dia tau benar apa yang ada di otak dangkal Habel. Bolos, dan tidur.

Habel menghentakan kakinya kesal, dengan kasar menarik tangannya dari Kain dan berjalan keluar dari kantin dengan kesal. Susah amat punya adik ketua Osis. Harus taat aturan.

Tapi... Habel tersenyum. Sejak kapan sih Habel penurut?

***

Langit biru dan awan putih bagai kapas yang melayang di atas langit. Roof top selalu menjadi tempat yang bagus untuk menatap langit.

Habel terbaring di atas beberapa meja yang di satukan, dengan jaket Bumi yang sempat ia pinjam yang menjadi bantal, Habel tidur menghadap langit. Untung saja matahari tidak terlalu terik.

Habel memejamkan matanya saat semilir angin menerpanya dengan lembut.

"Tukang bolos." Habel membuka matanya saat suara yang dia kenal menyapa indra pendengarannya.

Habel menoleh, mendengus. Dia berdecak saat Gentala dengan tangan yang di masukan ke dalam saku celana berjalan mendekat.

Tersenyum, Gentala duduk di ruang yang tersisa di meja, di samping kaki Habel.

"Hari pertama udah bolos aja." Habel menutup matanya dengan lengan kirinya.

Gentala terkekeh pelan. "Gue nggak bolos, tapi kelas gue olahraga dan gue belum di kasih seragam lengkap jadi gue nggak ikut. Gurunya bebaskan gue."

Habel mendengus. "Terserah." Habel menjauhkan tangannya, dia menatap langit. "Gue bosan." Habel merubah posisi menjadi duduk. Rambut panjangnya agak berantakan karena tertidur.

Habel mengambil jaket Bumi lalu memakainya. Kemudian berjalan begitu saja tanpa berbalik ke arah Gentala yang memperhatikan cewek itu dengan sebuah senyuman yang penuh arti.

***

Kain menarik dan mengembuskan nafasnya dengan kesabaran yang berada di ubun-ubun.

"Habel." Tekan Kain saat melihat sang Kakak dengan gaya begitu santai berjalan ke parkiran.

Habel mengerutkan kening. "Apa sih?" Matanya lalu mengikuti arah telunjuk Kain yang menunjuk gambar emoji lidah yang terjulur keluar. Habel bersiul pelan. "Yang buat artistik banget." Habel terkekeh. Tentu bukan krayon yang di gunakan menggambar bentuk besar itu.

"Lo yang buat, kan." Kain menarik kerah jaket yang digunakan Habel. Dengan kasar Habel menepis tangan Kain.

"Bukan gue!" Habel mendelik tajam. "Gue emang iseng, tapi nggak pernah kelewatan!"

Kain berdecak kesal. "Sejak kapan omongan lo bisa di percaya?" Kain mendengus sinis. "Nggak jauh-jauh, paling elo."

Nafas Habel memburu, bukan dia yang melakukan hal itu. Sekesal atau sebenci apapun Habel pada Kain dia tidak sampai hati melakukan itu.

"Fine! Terserah lo mau percaya apa nggak!" Habel berbalik dan berjalan dengan langkah cepat menjauh dari parkiran.

. . .

HalearaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang