7 - Tukang Tidur

170K 14.3K 1K
                                    

Tangan Gentala memegang kedua lututnya, mengatur nafasnya yang memburu.

"Anak muda jaman sekarang. Lari keliling rumah saja sudah ngos-ngosan." Deeka tertawa pelan, tangannya merapikan kembali pion catur. Tapi lalu merapikan papan hitam putih itu. "Kali ini Om biarkan kalian bebas, berterimakasih ke Habel yang sudah tidur sejak perlombaan di mulai." Deeka melirik Habel yang tertidur dengan keadaan duduk di kursi rotan di sampingnya. Selimut yang sempat Krisan pakaikan menyelimuti tubuh gadis itu. Tidurnya terlihat begitu nyenyak.
Kain, Gentala dan Bumi yang telah di kalahkan oleh Deeka dengan mudahnya hanya bisa mengatur nafas mereka. Kain bahkan telah tepar di lantai. Jika saja rumah Omnya itu tidak sebesar rumah miliknya mungkin dengan cepat Kain akan berlari mengelilingi rumah tersebut. Sayang, rumah ini sebesar rumah miliknya.

Bahkan Bumi yang telah terbiasa tetap saja kelelahan. Dia belum pernah menang melawan sang Ayah.

Deeka menepuk pelan pipi Habel yang tertidur. Membuat kelopak mata gadis itu sedikit bergerak sebelum terbuka. Dia menatap sekeliling dengan bingung sebelum mengusap matanya dengan pungung tangan.

"Pulang, udah malam. Mama kamu pasti udah khawatir." Habel menoleh menatap Deeka yang tersenyum. Perlahan menganggukan kepalanya dan berdiri.

"Kalian kenapa?" Habel memeluk selimut yang dia kenakan selama tertidur. "Habis lari?" Diperhatikannya satu persatu tiga orang yang nafasnya sudah tidak terlalu memburu itu.

"Diam, deh." Ketus Kain, dia bangkit dari posisinya.

Habel memajukan bibir. "Kan cuma tanya." Habel membalikan badan, berjalan masuk ke dalam rumah. Udara luar terasa dingin baginya.

"Sudah, pulang sana. Kapan-kapan kita main lagi. Siap-siap kalah saja." Deeka tertawa. Terutama karena wajah Gentala yang menatapnya dengan horor.

Kain berjalan masuk, saat Deeka masuk. Begitu juga Gentala dan Bumi.

Setelah meminum beberapa teguk air dan melirik jam. Kain berjalan menuju halaman rumah keluarga Nugroho.

Habel berdiri dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, badan yang bersandar pada mobil dan tas besar yang gadis itu gendong. Matanya terpejam.

Kain berdecak, menarik tas Habel dengan kasar hingga Habel hampir terjatuh jika saja Gentala tidak menahannya.

Habel menatap kesal Kain yang hanya menariknya dengan kasar begitu saja. Tapi berhubung Habel sangat mengantuk dan tidak ingin berdebat. Dia diam.

Gentala menatap Kain yang bergerak masuk ke dalam mobil. "Masuk." Gentala membimbing Habel masuk ke dalam mobil.

"Jangan gitu sama Kakak lo." Bumi yang melihat adegan itu hanya bisa mengucapkan apa yang ada di kepalanya. "Kalo dia kenapa-napa lo yang rasa duluan."

Kain mendengus, tidak memperdulikan ucapan Bumi. Dia menutup kaca jendela mobil setelah Bumi menceramahinya.

Gentala masuk setelah pamit pada Bumi. Dia melirik Habel yang langsung jatuh tertidur sedangkan Kain dengan wajah datar menyalakan mobil. Kemudian melajukan mobil tersebut.

Kain tidak sadar jika apa yang dia lakukan itu membuat Deeka hampir turun dan memberikan sedikit pelajaran untuk keponakannya itu. Jika saja sang istri tidak menahannya. Keduanya mengintip mobil Kain yang melaju dari jendela kamar mereka.

"Sabar, Pa." Krisan hanya bisa mengusap bahu sang suami.

Deeka menghela nafas. "Kenapa mereka semua jahat ke Habel? Dulu aku minta dia nggak di kasih, katanya janji nggak akan jahatin Habel tapi apa buktinya?"

Krisan memeluk Deeka. "Kalau kita ambil Habel, Kak Aila sendiri. Jangan buat dia semakin sakit karena kenyataan."

Deeka melemaskan tubuhnya, membalas pelukan sang istri. "Kasian Habel di gituin terus."

"Suatu hari mereka akan sadar seberapa berartinya gadis itu. Mereka akan sadar. Tapi, mereka akan terlambat."

***

Mobil Kain terparkir sempurna di garasi mobil bertepatan saat sebuah mobil lain memasuki halaman rumah keluarga Dirgantara.

Kain keluar dari mobil terlebih dahulu, lalu Gentala.

"Kalian dari mana? Kok baru pulang?" Diano, yang baru keluar dari mobil miliknya bertanya.

"Dari Tante Krisan." Kain membuka pintu mobil bagian belakang. "Heh, bangun." Kain menggoyangkan bahu Habel.

Aila yang langsung membuka pintu saat mendengar suara mobil. Aila memukul tangan Kain yang membangunkan Habel dengan cara kasar.

"Jangan gitu bangunin orang." Aila masuk ke dalam mobil, dia menepuk pelan pipi Habel hingga gadis itu membuka mata. "Ayo bangun." Habel mengusap matanya sebelum keluar dari mobil.

"Manja." Diano berdecak saat Habel bersandar pada bahu sang Mama sambil berjalan masuk.

Aila melotot ke arah sang suami, memberikan tatapan peringatan. Diano berdecak, berjalan masuk ke dalam rumah.

Gentala menatap pungung Habel yang mengulang di balik pintu. Gentala tidak pernah tau jika masalah keluarga Dirgantara begitu pelik. Bahkan Gentala tidak mengerti.

"Masuk." Kain menutup pintu mobilnya, setelah itu berjalan melewati Gentala.

Gentala berjalan perlahan. Saat masuk ke dalam rumah dia melihat Habel yang terduduk dengan tangan memegang sebuah donat berlapis cokelat. Gadis itu tampak senang. Ada binar bahagia di mata gadis itu.

"Ayo, ikut makan sini." Aila menggerakan tangannya seperti memanggil. Kain berbelok, lalu duduk di depan Habel yang menyantap donat coklatnya dengan lahap.

Gentala terkekeh dengan ekspresi Habel yang tampak sangat menikmati donat buatan Aila. Gentala mengambil satu, kemudian memakannya.

"Gentala sudah berapa lama di dunia entertainment?" Aila yang duduk di samping Habel bertanya. Wanita itu tersenyum hangat membuat Gentala sedikit merindukan ibunya.

"Dari kecil. Cuma waktu kecil paling ikut iklan, syuting paling cuma dapat pemeran pembantu saja nggak pernah peran utama. Setelah besar baru menjadi penyanyi dan bermain film layar lebar." Ucap Gentala.

"Kamu penyanyi, kan? Kebetulan. Habel ketua eskul musik, kamu bergabung saja. Biar makin akrab." Habel melotot, terbatuk keras karena sepenggal donat tersangkut pada lehernya.

Gentala mengulurkan segelas air dengan cepat pada Habel. Dengan cepat pula Habel meneguk air itu hingga tandas.

"Kalo makan pelan, sayang." Aila mengusap punggung Habel.

"Maaf, Ma." Habel mengusap air yang tersisa di sudut bibirnya dengan punggung tangan. "Aku tidur deh, Ma. Ngantuk."

"Nggak mau lagi?"

"Mau. Besok pagi jadi sarapan." Habel menyengir. Mencium pipi sang Mama sebelum menuju kamarnya yang berada di lantai atas.

"Gen," Gentala yang memperhatikan Habel yang menaiki tangga menoleh. "Kamu jangan galak-galak ke Habel, ya? Dia memang keras kepala. Tapi kalo kamu benar kenal dia. Dia akan jadi orang yang sangat baik. Jangan kayak Kain yang nggak sayang dengan kembarannya sendiri." Aila melirik Kain yang tampak masa bodo dengan ucapan sang Mama.

Gentala tersenyum kaku. "Saya nggak janji, Tan. Karena saya dengan Habel mirip musuh."

Aila tertawa. "Musuh itu adalah sahabat yang tertunda, kalau menurut Tante. Karena Tante juga pernah musuhan dengan seseorang. Tapi sekarang kami jadi sangat dekat." Aila tersenyum, lalu bergerak membawa piring berisi donat ke dapur.

Gentala terdiam begitu juga Kain yang masih sibuk dengan donat yang ia pegang. Walau, pikirannya telah melayang jauh.

. . .

Belum dapat cast untuk cerita ini. Jadi gunakan saja imajinasi kalian untuk membayangkan.

Jangan lupa vote dan komen.

HalearaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang