"Kak, aku udah gak kuat."
Aku hanya bisa melunglai dan terduduk di tanah. Keringat mengucur deras dari pelipisku yang sudah terasa panas. Hari yang melelahkan. Aku ingin hukuman ini segera berakhir.
"Saya belum nyuruh kamu berhenti. Berdiri! Lari 2 keliling lagi!" perintah kakak kelas berambut panjang itu sambil menatapku ganas.
Dengan keterpaksaan dan rasa lelah yang sudah mencapai puncaknya, aku melangkahkan kakiku perlahan menyusuri sisi lapangan. Ku lihat sekilas para siswa lainnya menonton di setiap penjuru sekolah. Ada yang tertawa, ketakutan, dan beberapa melukiskan mimik iba di wajahnya.
Malangnya nasibku. Hukuman macam apa ini? Aku hanya terlambat 5 menit, namun para kakak kelas yang membina kegiatan MOS ini dengan kejamnya memberiku sanksi berlari keliling lapangan sebanyak 5 kali. Ditambah lagi terik yang semakin menyengat membakar kulit membuatku tidak sanggup lagi melangkah. Lagi-lagi kakiku goyah dan terduduk dengan pasrah.
"Lemah banget sih! Makannya mikir dulu sebelum berbuat ulah!" cercanya dengan nada yang menyentak.
Aku hanya menunduk dengan napas yang masih terengah-engah. Jangankan melawan ataupun memberi jawaban, bernapas pun sulit rasanya.
"Berdiri!"
Tidak. Aku tidak sanggup lagi. Aku menundukkan kepalaku lebih dalam. Aku harap sedikit saja rasa iba tumbuh di hatinya. Aku mohon Tuhan, aku sudah kehabisan tenaga.
"Berdiri atau gak-"
"Maaf Kak, Kakak mau ngasih efek jera atau mengeksekusi narapidana?"
Samar-samar aku mendengar suara berat itu. Dengan susah payah aku mengangkat kepalaku dan menengok ke sumber suara. Seorang lelaki berkulit putih dengan postur tubuh tinggi dengn gagahnya berdiri tegak di tengah lapangan.
"Heh Dek! Jangan ikut campur! Kita cuma bersikap tegas." lawan kakak kelas itu tidak mau kalah.
"Tegas juga ada batasnya, Kak. Kalau Kakak melewati batas itu, namanya kekerasan."
Lelaki itu dengan kukuhnya tetap membelaku. Namun entahlah apapun bentuk tindakannya itu, aku bersyukur akhirnya ada yang merasa kasihan dan mau membantuku.
Kakak kelas bernama Rasyifa itu menatap sang lelaki tajam.
"So' jadi jagoan!" ucapnya dengan senyum mengejek. "Okay, kamu boleh berhenti,"ia beralih menetapku.
Dengan syukur aku menghembuskan napas lega."Tapi sebagai gantinya hormat bendera selama 30 menit bareng 'pahlawan kesiangan itu'!"
Mendengar pernyataannya, bahuku seketika merosot. Haruskah sekejam itu? Dulu saat aku terlambat hukumannya hanya berkeliling kelas untuk mengabsen atau hanya sekedar membersihkan toilet. Tapi di sini hukuman itu seperti membunuh orang secara perlahan. Kakak kelas kejam yang tidak memiliki belas kasihan.
Rasyifa pergi diikuti teman-temannya. Para penonton pun satu per satu bubar dan hanya menyisakan aku dan lelaki itu di tengah lapangan.
Aku berjalan mendekati tiang bendera begitu pun dengan dirinya. Jujur aku sangat merasa bersalah dan berterima kasih atas tindakannya yang berhasil membuat hukumanku diringankan. Dan kini aku melihat kedataran di wajahnya. Entah dia merasa menyesal, marah, ataupun biasa saja.
Dia mulai mengangkat tangan kanannya dengan ujung jari menyentuh alis. Dengan perasaan tidak enak aku mengikuti gerak-geriknya. Dia hanya terdiam sambil menatap lurus ke depan. Ku perhatikan seragam biru putihnya dengan celana yang agak ketat dan terlihat tidak pantas di tubuhnya yang terbilang tinggi layaknya anak kelas 3 SMA.
"Maaf udah buat kamu jadi ikut kena hukum." ungkapku berhati-hati.
Hening. Dia tetap menatap lurus ke depan seakan tak mendengar suaraku sama sekali. Bisa ku simpulkan dia memang marah.
"Nama aku Hafa. Kamu siapa?" tanyaku pantang menyerah.
Aduh.. Kini aku merasa malu tidak direspon sama sekali. Ternyata dia cukup menyebalkan juga.
"Aku dari Gugus 3. Kamu sendiri dari mana?"tanyaku masih tidak menyerah.
Krikk krikk
Fix. Kini aku merasa seperti muka tembok, atau aku sedang berbicara dengan tembok? Ya, dia persis seperti tembok. Membeku dan tanpa suara sama sekali.
Kini aku menyerah. Aku memutuskan untuk diam saja hingga 30 menit ini segera berakhir.
Semilir angin di siang hari sedikit menyegarkan kepalaku yang terasa panas. Sudah 15 menit berlalu tanpa sepatah katapun yang keluar darinya.
Aku melirik kembali kearahnya yang masih dalam keadaan sama. Sungguh, dia hampir seperti patung. Namun bedanya aku masih bisa melihat dadanya yang sedikit naik turun karena mengambil dan menghembuskan napas. Aku mulai merasa bosan dengannya. Andai saja dinginnya mampu menyegarkan tubuhku yang tengah kegerahan ini. Sayangnya sikap dingin ini justru membuat hatiku terasa panas.
Beberapa lama kemudian secerca ide gila melintas di benakku.
”Aduh..!”
Aku menjatuhkan diriku sendiri untuk menarik perhatiannya. Mungkin saja ada sedikit reaksi yang dikeluarkannya kali ini.
Aku menengadahkan wajahku guna melirik ke arahnya. Tetap diam!? Ya Tuhan... Hancur sudah harga diriku. Dengan sigap kulayangkan pandangan ke sekeliling. Sepi. Baguslah. Tapi harus di mana aku meletakkan wajahku kali ini? Apa lelaki ini mati sambil berdiri?
Dengan perasaan yang sangat sangat sangat malu aku bangkit kembali dengan wajah tertunduk. Sudah cukup. Aku tidak ingin mengambil resiko lagi. Entah apa yang terjadi kepadanya. Tadi dia dengan lantangnya menantang kakak kelas demi membelaku. Sedangkan kini dia hanya diam membeku seperti tidak bernyawa.
Titt Titt Titt
Aku mendengar suara yang keluar dari jam tangannya. Ia menurunkan sebelah tangannya yang tadi digunakannya untuk hormat. Aku hanya memperhatikan gerak-geriknya tanpa berkedip. Dia bergerak! Akhirnya dia bergerak!!
Lelaki itu menengok ke arahku dengan wajah datarnya.
“Adnan, dari Gugus 4.” Ucapnya kemudian berlalu dari hadapanku dengan santainya.
Aku masih mematung dengan mulut terbuka.
Adnan?
Kenapa bisa?
Maksudku,
Kapan dia memasang timer selama 30 menit di jam tangannya?
qkyhjo?oi!!gfplkjfb@_@!!!
Bandung, 10 Mei 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Hidup
Teen FictionPernah gak sih jatuh cinta sama temen sekelas? Gimana rasanya suka sama orang yang setiap hari ketemu? Yang dengan leluasanya bisa merhatiin apa aja yang dia lakuin dan bernapas dengan oksigen di satu ruangan yang sama, liburan bareng, ketawa bareng...