Prolog

167 14 0
                                    

"You are the happiness I never realized I needed." - Kristen Callihan, The Friend Zone (Game On, #2)
***

Jam menunjukkan pukul 19:42. Emma, gadis berkebangsaan Inggris itu baru saja selesai mengetik balasan email manajernya untuk membicarakan masalah pemotretan majalah pekan depan. Sebenarnya Stuart --manajernya-- itu juga mengirim pesan ke handphonenya dengan isi pesan yang sama akan tetapi Emma yang terlalu sibuk dengan kegiatannya tidak selalu membuka handphone. Jadi akhirnya Stuart mengirim pesan ke setiap media yang dimiliki gadis cantik itu.

Emma Watson.

Siapa yang tidak kenal dengan dia? Aktris terkenal dengan kekayaan yang fantastis, wajahnya yang menghiasi setiap media sejak debutnya di film Harry Potter dari 1-7 dan tidak ada ada seorangpun yang tidak kenal dengannya. Gadis itu mengambil koran bernama London Times kemudian memandanginya sambil tersenyum. Terpampang wajahnya berdampingan dengan wajah Daniel dan Rupert yang digadang-gadangkan sebagai aktor dan aktris paling terkenal dan kaya di Inggris tahun ini.

Ddrrrttt.

Getaran handphone di kasur membuatnya tersadar lalu kemudian ia mengambilnya. Ternyata pemberitahuan kalau batrenya tinggal 5% lagi.

"Beginilah kalau jarang membuka handphone," gumamnya.

Ia juga mendapat beberapa pesan dari Daniel, Bonnie.. dan Tom.

Daniel:
Em, jangan lupa sabtu depan kita ada pemotretan dan kita akan pake dresscode warna merah khas Gryffindor.

Dengan cepat, jemari lentik gadis itu kemudian membalas pesannya.

Oke, sampai jumpa di sana!

Bonnie:
Apakah kau sudah punya baju untuk pemotretan nanti? Kalau belum.. bagaimana kalau kita belanja jumat nanti? :D xx

Emma tertawa membacanya. Dasar, gadis tetaplah seorang gadis, batinnya dalam hati.

Sebenarnya kalau baju merah Gryffindor aku punya beberapa. Tapi kalau yang belum pernah dipakai di depan publik, sepertinya aku tidak punya lagi. Baik, mari kita belanja ;)

Pesan lalu dikirim. Sekarang tinggal pesan dari Tom. Ya, Tom Felton. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Ia selalu merasa tidak biasa jika berhadapan dengan lelaki itu. Sudah menjadi rahasia umum jika media tahu kalau ia memiliki perasaan lebih pada Tom si pemeran Draco Malfoy itu bahkan sejak ia masih menjadi si kecil Hermione di tahun pertama. Walau nyatanya Tom sudah memiliki kekasih dan tidak membalas cintanya, ia masih memiliki perasaan itu. Perasaan itu tidak pernah berubah sedikitpun.

Tom:
Em, apakah kau sudah tidak sabar kembali ke Hogwarts senin besok?

Senyum lebar kembali merekah di bibir mungil itu. Tentu saja, ia tidak sabar untuk kembali ke Hogwarts. Terutama untuk bertemu lelaki Slytherin itu. Iya, Hogwarts memang tidak benar-benar fiksi. Hogwarts itu nyata. Semua yang ada di buku adalah nyata. Bagian fiksinya adalah tentang keberadaan Voldemort. Semua drama dan bumbu-bumbu di dalamnya. Nyatanya, Hogwarts itu selalu damai. Tidak ada yang namanya perselisihan antara Voldemort dan Harry, apalagi hanya Harry dan Draco. Sang penulis, JK Rowling menambahkan konflik hanya agar bisa memenuhi kriteria konflik di dalam karya fiksi. JK Rowling pun juga sebenarnya penyihir di Wizarding World. Hanya saja ia lebih memilih untuk hidup di dunia muggle. Mungkin kau bertanya-tanya, kenapa JK Rowling berani membongkar rahasia dunia sihir? Sebenarnya itu ada tujuannya. Dulu, sihir dianggap aneh dan menakutkan. Sejak Harry Potter terkenal, orang-orang tidak takut lagi dengan sihir, bahkan banyak yang berbondong-bondong ingin menjadi penyihir. Dan misi itu berhasil.

Tentu saja aku tidak sabar. Sampai bertemu senin besok Tom!

Emma mengirimkan balasannya dengan cepat. Ia tidak peduli jika isi chatnya itu terlihat begitu semangat. Toh, semua orang juga sudah tahu ia menyukai Tom, bahkan lelaki itu sendiri sudah tahu.

Handphonenya tiba-tiba bergetar lagi. Balasan dari Tom. Cepat sekali membalasnya, batin Emma takjub sekaligus senang.

Tom:
Senin besok aku jemput, ya.

Seketika Emma teriak kegirangan. Ia loncat-loncat ke sana kemari. Ia membaca berulang-ulang chat itu, takut salah baca. Tapi benar. Tom ingin menjemputnya. Ia benar-benar akan menjemputnya.

Baik. Aku tunggu. Tumben sekali kau mau menjemputku?

Emma senang, tapi juga penasaran. Penasaran kenapa lelaki itu mau menjemputnya. Lelaki itu baik, tapi dingin, terkesan cuek dengannya. Apakah dia sudah putus dengan kekasihnya? Apakah dia ingin mendekatinya? Emma benar-benar ingin tahu.

Seperti yang diinginkannya, beberapa detik kemudian balasannya datang. Emma segera membukanya.

Tom:
Ramuan Polyjuice ku habis. Tidak mungkin aku ke stasiun dengan wajah seperti ini, orang-orang pasti akan mengenaliku. Kau anak paling pandai di Hogwarts pasti punya kan persediaan banyak?

Hati Emma seketika retak. Memang tidak mungkin Tom akan menganggapnya lebih. Nyatanya, ia memang hanya menganggapnya sebagai teman sejak dulu. Lebih tepatnya, teman yang pandai yang memiliki ramuan Polyjuice lebih. Seketika, setetes butir bening menetes dari mata kirinya.

Ia malu. Malu pada dirinya sendiri. Ia sakit, sakit karena kenyataan yang menghantamnya.

Getaran dari handphonenya kembali terasa. Sambil mengusap airmatanya, gadis itu kembali membukanya. Tapi sekarang ia lebih pasrah daripada yang tadi.

Tom:
Em? Apakah kau di sana?

Belum sempat ia mengetik apapun, handphonenya mati. Batrenya habis. Kali ini Emma tidak perduli. Ia melempar kembali ke ranjang benda itu kemudian ia menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya dengannya.

Ia benar-benar tidak perduli. Iya, benar-benar tidak perduli.

***

Hogwarts And Emma's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang