"Na, dengar sebentar," katanya dengan nada agak tinggi.
"Nggak, Yon. Nggak mau."
Kulangkahkan kakiku dengan pasti menjauhi kursi kursi taman yang berjejer dengan anggun pagi ini.
"Tolong mbak, satu ranjang buah-buahan, ya!"
Aku ingin menjadi hal yang selalu dia lihat dan dia rasakan. Hal yang selalu ada bak nadinya.
"Mina..."
Aku terdiam. Seharusnya tidak ramai hari ini. Ah, semua ingin menjenguk Adyan. Pikirku sangat polos.
"Adyan kemana?"
Aku ingin menjadi hal yang selalu ada untuknya, bak nadinya.
Nadinya?
Mataku terpaku. Ragaku seperti mati berdiri, bagai hidup tiada logika dan perasaan. Aku mematung di ujung ruangan putih dengan ranjang dan juga jendela itu yang selalu kami ceritakan.
"Makasih, ya Mina."
"Nggak."
"Mina..."
Aku tidak ingin menangis seperti ini. Aku seharusnya tertawa sekarang. Aku seharusnya tertawa bahagia menemaninya, melihatnya. Aku ingin mengatakan sesuatu padanya.
Aku terkulai. Apanya yang nadi? Kini bagaikan langit dan bumi yang sangat jauh tiada ujung.
---"Mina, gue ada buku planer nih, nggak kepakai banget sih, cuma gue tau lo sering gabut, so lu tulis tulis aja, ya!"
---
Kubuka lembaran buku itu. Masih terlihat rapi, terawat dengan sempurna sepenuh hati. Kutarik secarik kertas di penghujung buku, kubaca kata demi kata yang tertulis rapi di akhir halaman."Nggak... Kenapa?"
Ini tidak seperti kisah berakhir bahagia bak putri raja yang sering ia ceritakan. Semuanya bohong. Dia berbohong. Pada akhirnya aku ditinggalkan. Putri raja yang kesepian menanti sang pangeran datang menjemputnya dari menara tinggi hingga menembus awan.
---Paradoks.
---
Apa aku pernah menjadi nadimu?
***
Hayhay. Maaf kalo masih kurang dan aku butuh saran nihhh. Aku pengen nambahin art si tokoh atau mengenai ceritanya di story perbabnya, nih. Bagusnya di depan, di akhir atau di media aja? Please sarannya yaa. Makasiiiihhhhhhh