#6

25 0 0
                                    

Pernikahan sejatinya bukan hanya sebagai pengikat. Pernikahan sesungguhnya adalah penyatuan dua insan dalam nama Allah, penyatuan dua keluarga, penyatuan dua pikiran yang berbeda sehingga saling melengkapi satu sama lainnya. Atas nama Allah-lah pernikahan seharusnya terjadi, bukan karena paksaan dan tuntutan, sehingga terhindarnya sesuatu yang akan Allah laknat.

Hujan turun malam ini. Di sebuah kamar dengan kasur besar yang empuk, Faza masih terjaga. Di sampingnya ada Rama yang sudah jauh pergi ke alam mimpi. Ia memandangi wajah anak yang polos itu. Sungguh enaknya menjadi anak-anak, tak memiliki beban dan pikiran, setiap harinya terasa amat indah, apalagi dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Anak-anak tak harus berpikir bagaimana untuk makan besok, bagaimana untuk membayar cicilan rumah, kendaraan, bahkan tagihan listrik. Begitulah Faza berpikir tentang bagaimana anak-anak. Ya, bagaimana pun juga masa-masa itu telah ia lewati. Kini ia bukan lagi anak-anak yang bisa bermanja-manja kepada orang tua, sekarang justru ia sudah menjadi orang tua.

Jam di meja samping tempat tidurnya sudah berganti dari pukul 01.34, menjadi 01.35. Mata masih seperti bola lampu dengan watt yang tinggi. Pikirannya terlalu kuat menahan matanya agar tidak segera mengantuk. Ia tak pernah membayangkan sebelumnya akan menjadi sangat rumit kehidupan ini. Seberapa beratnya masalah yang dihadapi, baru kali ini ia serasa berada di titik nol, dimana ia benar-benar tidak memiliki jalan keluar.

Matanya mendelik tajam ke arah jam. Melihat warna merah dari cahaya berbentuk angka. Angka-angka yang tanpa sadar ia hitung, dalam beberapa saat matanya terpejam.

Hamparan padang rumput yang luas, sejuk, memberikan ketenangan bagi siapa saja yang berada di tempat itu. Tak terlihat satu pohon pun di sana, hanya semeliwir angin berhembus, suasana dingin seketika merasuk ke dalam kulit, meski ia tahu tempat itu indah. Ketika ia melihat ke bawah, rumput hijau segar sudah berubah menjadi tanah tandus dengan retakan kecil di setiap tempatnya.

"Faza."

Terdengar suara July memanggil. Ia menoleh ke arah kiri, tempat July berdiri sambil tersenyum. Pakaiannya merah menyala dengan mini dress ketat, tangan kirinya menjulur, mengajaknya untuk menghampiri. Sebelum kakinya melangkah, nampak sembuat merah terlihat dari belakang July. Semua pemandangan di belakang July berwarna merah, sesekali terlihat percikan-percikan api kecil dari atas langit yang merah menyala.

"Faza."

Kemudian ia melirik ke arah kanannya. Nampak Laila berdiri dengan gaun putih panjang, dengan jilbab putih serasi dengan pakaiannya. Gadis itu tersenyum hangat, senyumnya selalu membuat Faza tentram. Kemudian tangan kanannya menjulur, sama seperti apa yang dilakukan oleh July. Nampak pemandangan belakang Laila putih sejuk, cahanya putih mendominasi tatapannya, tetapi tidak membuatnya silau.

"Sayang, kemarilah, di sini ada anakmu," ujar July.

Faza kembali melirik ke arah kiri. Kini July berdiri berdua dengan seorang anak. Anak itu tidak ia kenal, tetapi wajahnya nampak seperti orang yang ia kenal. Ketika Faza ingin melihat dengan jelas wajah anak itu, dari belakang July, keluar sosok pria dengan jubah hitam menutupi semua bagian tubuhnya. Pria itu merangkul July, kemudian pelan-pelan jubah dari pria itu ia buka, saat hampir seluruh tubuhnya terlihat, tiba-tiba...

Bruk!

Faza menatap langit-langit di dalam kamarnya. Tangan Rama berada tepat di wajahnya, kemudian ia membetulkan posisi tidur Rama. Ia terbangun dari mimpinya dan kini ia duduk di samping kasur. Wajahnya ia usap dengan kedua tangan.

Siapa pria itu? batin Faza bertanya. Kemudian ia mengambil segelas air yang sudah di taruh di samping laci tempat tidurnya. Meneguknya dengan cepat. Haus. Kemudian kembali tidur dan berharap mimpi itu bisa dilanjutkan.

Sepenggal Kisah Di MunchenWhere stories live. Discover now