arslan senki Volume 2

bab 10

Hirmiz kembali ke kamarnya sendiri dan melepas topeng peraknya. Dia meletakkan topeng di atas meja kenari dan menyeka wajahnya dengan handuk.
Sentuhan udara segar di wajahnya yang telanjang, bahkan di kamar yang pengap dan tertutup seperti ini, cukup nyaman baginya.
Hirmiz menarik napas yang dalam, tidak terengah-engah, membersihkan udara di paru-parunya.
Sepanjang dinding ditempatkan cermin yang memantulkan semua jalan ke pinggang. Hirmiz berdiri di depannya dan mulai mengoleskan salep murr di bekas luka bakar yang menutupi bagian kanan wajahnya. Tiba-tiba, tatapannya berubah. Pintu kamar terbuka, dan di sana muncul wajah seorang gadis yang melayani membawa nampan. Di cermin, Hirmiz dan tatapan gadis itu bertemu.
Jeritan melonjak dari mulut gadis itu. Nampan itu jatuh dengan bunyi dentingan yang besar, dan dengan itu sebuah botol berisi nabid , goblet , sepiring buah ara kering, dan barang-barang lainnya semuanya jatuh ke karpet.
Hirmiz secara refleks menutupi wajahnya dengan lengan kirinya. Ini adalah kebiasaan yang menyedihkan baginya. Satu yang diambilnya enam belas tahun yang lalu, setelah melarikan diri dari pusaran api dan asap itu. Hanya dengan mempersembahkan separuh wajahnya sebagai pengorbanan kepada dewa api, ia mampu mempertahankan hidupnya pada akhirnya.
Namun, tanpa diduga, ekspresi di mata Hirmiz berubah. Dia membiarkan lengannya jatuh dan perlahan berbalik menghadap gadis itu.
"Apakah itu sangat mengerikan?"
Dari mulutnya terdengar suara yang tampak tenang.
"Apa masalahnya, apakah itu sangat menakutkan?"
Terlepas dari dirinya, suaranya bergetar sedikit, bukan hanya karena marah pada pihak lain, tetapi juga dengan ejekan diri.
Gadis yang membatu itu, yang akhirnya sadar, mulai mengumpulkan nampan dan piring-piring.
"Ah, permintaan maafku yang terdalam, Pak.
Saya akan membersihkan sekaligus, tolong maafkan saya. "
"Aku akan pergi. Lakukan setelah saya pergi. "
"Y-ya, seperti yang kamu perintahkan."
Gadis itu membungkuk, lalu berbalik. Hirmiz sangat paham bahwa dia terus mengecek keinginan untuk berlari demi hidupnya.
Hirmiz tanpa kata memperhatikan sosok gadis yang mundur itu. Separuh wajah kanannya yang terbakar telah kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan perasaan apa pun, tetapi pada saat pucat dan elegannya meninggalkan perang, sejumlah emosi ganas. Mungkin dia harus memotong gadis itu dengan pedangnya di tempat saat dia mendengar jeritannya, tetapi dia telah kehilangan kesempatannya. Untuk alasan apa pun, itu bahkan tidak terpikir olehnya untuk mengejarnya dan memotongnya dari belakang.
Dia berbalik lagi dan meninju wajahnya yang terpantul di cermin. Dengan celah, cermin pecah seperti jaring laba-laba, dan sosoknya lenyap.
"Andragoras! Pemberi kuasa sialan! "
Melihat merah, dia mengutuk pamannya yang dipenjara di dalam dimas .
Enam belas tahun yang lalu, ia telah menjadi pangeran kerajaan, kebanggaan dan sukacita dari Shah Osroes V. Suatu hari, di awal musim panas, di pairi-daiza , kandang berburu yang dipagari, dia pergi dengan gembira kepada ayahnya, raja untuk melaporkan mengantongi beruang dan sher , yang pertama dia pernah menembak jatuh dalam hidupnya. Ayahnya, di ranjangnya, memuji keberaniannya dengan suara lemah tapi lembut. Dan pada malam itulah ayahnya meninggal raja - dibunuh oleh adik laki-lakinya Andragoras. Andragoras mencuri tahta dan bahkan menamai putra mahkota putranya sendiri, dengan bebas mengeksploitasi otoritas kerajaan yang bahkan bukan milik mereka sejak awal. Apakah ini sesuatu yang seharusnya dimaafkan? Bahkan jika para dewa memaafkan, aku tidak akan melakukannya.
Hirmiz tertawa kecil. Dia telah memikirkan metode balas dendam baru.
Jika Arslan ditangkap, dia tidak akan terbunuh sekaligus. Sebelum itu, biarkan setengah wajahnya terbakar. Teror dan penderitaan yang dialami Hirmiz enam belas tahun yang lalu harus dialami sepenuhnya oleh putra Andragoras yang terkutuk itu. Tidak akan terlalu terlambat untuk membunuhnya setelah itu. Apakah pemenggalan menjadi yang terbaik? Atau haruskah ayah dan anak dipaksa untuk mengambil pedang dan saling membunuh? Atau mungkin...
Hirmiz meletakkan topeng peraknya sekali lagi dan memasang gespernya. Dia meninggalkan kamarnya mengenakan baju besi lengkap. Di luar, Zandeh menunggunya. Setelah membungkuk hormat, dia memanggil seperti anjing baying.
"Ayo, mari kita mulai berburu para Arslan yang kejam dan perusahaannya!"
Hirmiz, topeng perak berkilau dalam cahaya, melangkah menuju tunggangannya tanpa kata.
.
"... Aku dengar si bodoh Hirmiz telah berangkat untuk menangkap putra Raja Andragoras."
Ke ruang bawah tanah mengalir suara pelaporan demikian. Penatua berambut abu-abu itu mengangguk.
"Kamerad kami Arzhang juga telah pergi, kali ini untuk menumpahkan darah orang-orang tak berdosa di luar ibu kota. Saya percaya dia akan kembali melaporkan kepada Anda, Guru, setelah membunuh sekitar sepuluh penduduk desa. "
"Biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan."
"Ngomong-ngomong, mengenai pria yang mereka sebut Bodin, uskup agung yang suka membunuh, apa tidak apa-apa membiarkannya hidup, Tuan?"
"Biarkan dia hidup, jangan kita. Karena di mana tangan kita tidak bisa menjangkau, ia akan menumpahkan darah orang-orang tak berdosa. "
Tetua berjubah abu-abu tertawa. Sejauh mana Bodin, menggunakan apa yang disebut Templar sebagai pasukan pribadinya, merajalela dengan fanatik dari sekarang? Ini adalah sesuatu yang dinantikan.
"Cepat atau lambat, akan baik untuk menempatkan orang itu pada kematian yang sama seperti korbannya sendiri, dengan metode yang paling kejam. Jika dia menganggapnya sebagai syahid untuk tuhannya, pria itu pasti akan bersuka ria, tidak peduli seberapa menyiksa rasa sakitnya! "
... Tak lama, si dukun, sekarang sendirian, setelah memecat muridnya, melepaskan tudung yang menaungi matanya, memamerkan wajahnya. Di bawah cahaya lampu yang redup, dia mengintip ke cermin kecil.
"Hm, jadi kekuatanku mulai kembali akhirnya?
Sedikit lagi sekarang. "
Seakan puas, wajah di cermin tersenyum. Ini bukan wajah sesepuh, tetapi wajah seorang pria berusia empat puluhan atau lima puluhan.