Chapter 2 : Meet Again

271 41 8
                                    




"Aku pulang," pintu kayu berderit pelan, Hinata menghela napas, menyangga tangan kanan pada dinding, yang lain melepas sepatu wedges. Malam sudah larut, sekitar jam sebelas. Hanabi dan Neji mungkin sudah tidur.

"Kakak, bagaimana kencannya?" Hinata oleng tapi cepat-cepat berpegangan lagi pada dinding. Ia berbalik, memandang adiknya kesal.

"Hanabi! Kau mengagetkanku!" Ternyata adik bungsunya belum terlelap.

Hanabi malah cengengesan, "Ayolah jawab saja, aku sengaja menunggu Kakak, looh. Kepo nih." Matanya mengerling penuh goda.

"Gak ada yang istimewa," Hinata melewatinya begitu saja. Hanabi mengikutinya, "Pelit!" serunya.

Neji juga ikutan muncul, menghalangi jalan Hinata di depan pintu kamar.

"Darimana saja kurasa kencan pertama gak akan selarut ini?" Ia mencium aroma menyengat, lalu mengernyit tidak suka.

"Hinata kau bau alkohol," geramnya sebelum melanjutkan, "Kau tahu Ayah nggak pernah suka dengan kebiasaan itu 'kan?!"

Hinata cemberut, "Kak, aku sudah dewasa. Lagipula Ayah nggak di sini 'kan." Neji malah makin keki dengan jawaban adiknya. "Setidaknya Ayah titip pesan untuk menjagamu. Termasuk menjauhkan hal-hal yang tidak baik darimu, Hinata!" katanya gemas.

Hinata mengurut pelipisnya pelan. Ia padahal sengaja pulang larut karena berpikir Neji dan Hanabi sudah tidur. Tapi malah tertangkap basah
begini.

"Dan setidaknya biarkan aku lewat dan pergi tidur, Kak." Hinata mendongak menatap lelah pada Neji yang masih nampak angker.
"Aku lelah, Kak." lanjutnya.

Hinata menyingkirkan Neji yang melemahkan pertahanan di depan pintu kamar adiknya, membiarkan Hinata masuk begitu saja, melupakan rangkaian kalimat peringatan yang sudah disusunnya.

Hanabi cemberut, tak mengerti. "Ada apa dengannya sih," ia menengok pada Neji yang masih menatap pintu kamar Hinata.

"Mungkin kencannya nggak berjalan baik," Neji tak marah lebih lanjut. Hinata yang dipengaruhi alkohol berusaha ia maklumi. Besok masih ada waktu untuk obrolan panjang.
Hanabi menimpali dengan wajah datar, "Sepertinya begitu,"



"Hinata bagaimana kencannya?"
Pertanyaan yang sama muncul, keesokan harinya di hari minggu. Hinata merebahkan diri pada tempat tidur, tangannya memegang smartphone yang ditempel pada telinga. Angin sore yang masuk dari celah jendela membuatnya mengantuk.

"G-Gaara nggak cerita apa-apa?" Hinata gugup campur takut, bagaimanapun menampar seseorang di tempat umum bukan perbuatan etis. Ia jadi menyesal sendiri. Apa nggak keterlaluan? Bagaimana perasaannya ya?

"Tidak, dia malah menanyakan alamat rumah dan tempat kerjamu," Ino menjeda, "Hei, kamu belum jawab pertanyaanku."

Hinata menggigit bibir cemas, apa dia mau minta ganti rugi? Mau balas dendam atau apa?

"Hoi, Hinata?"

"A-ah, iya-maksudku, aku ... biasa saja," di ujung telepon sana Ino mengerutkan kening, komentar Hinata terdengar tak jelas.

"Benarkah?"

Hinata merasa tidak enak, Ino temannya yang baik dan perhatian, mengenalkan pada seorang pria meski membuat Hinata ketakutan.

"Dia ... pria yang baik, Ino," minus kelakuannya di lantai dansa sih.

Ia bisa mendengar Ino menghela napas lega.

JombloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang