01

22 3 0
                                    

.

.

.

~~~

Setiap kali aku melihat cermin besar di pintu lemariku, darahku seakan mendidih. Cermin disana sudah kosong. Sudah tak ada kacanya, berisi kain berantakan di dalam.

Beberapa hari lalu, sesuatu telah memecahkannya. Ini sudah kedua kalinya.

Dulu pertama kali pecah, butuh waktu cukup lama hingga aku dapat menggantinya dengan yang baru.

Aku benci cermin. Tapi sekarang cermin itu sudah tidak ada, aku semakin membencinya.

Rasa mencekik itu.

Tak enggan lenyap layaknya potongan cermin yang kuharap sebaliknya.

Waktu kecil, aku percaya banyak hal. Aku adalah tipe orang yang gampang percaya, dan selalu melihat sesuatu dari sisi baik. Karena Ibuku selalu bilang, aku anak baik. Dan anak baik akan selalu berkata baik dan melakukan hal baik. Tapi apakah anak baik akan selalu mendapat kebaikan?

Sayangnya, dunia tak sebaik otak bodohku kira.

Lambat laun, makin bertambah usia, semakin aku menemukan kenyataan yang merobohkan sederet keyakinan kecilku bagai bangunan pasir yang runtuh secara perlahan. Semua yang kupercaya, semua yang kau ajarkan, hanyalah sederet dongeng untuk seorang naif.

Tak ada yang salah dengan dongeng dan menjadi seorang naif seumur hidupmu. Tetapi bagiku, aku tak bisa. Lantas, bagaimana aku melanjutkan hidup?

Kurasa antara cermin dan hidupku punya satu persamaan; kami bisa rusak kapan saja.

Meskipun begitu, meskipun aku sangat membenci dunia seperti ingin menghancur leburkannya, aku harus tetap bertahan.

Aku belum bisa meninggalkan tempat ini menjadi kosong, tak berbekas.

.
.
.

~~~

Sebuah ledakan dan suara teriakan mencekam, menerobos masuk ke dalam mimpiku. Aku terkesiap bangun. Mataku terbuka lebar. Duduk di atas kasur dengan keringat dingin yang mengucur di seluruh tubuhku.

Dengan panik dan setengah linglung aku menoleh ke kanan kiri, namun menemukan tak ada siapa-siapa. Aku melepaskan napas lega.

Ah, mimpi yang sama...

Aku mencabut kabel pengisi baterai yang masih tersambung di ponselku, lalu menekan tombolnya, terlihat di layarnya menunjukkan pukul 7:19. Aku melirik ke arah jendela kecil di tembok.

Jendela itu tak berkaca, dari kayu yang dibuat menyerupai jeruji penjara. Sinar matahari dan udara dingin bisa masuk tak kenal panas dan hujan. Sedetik aku berpikir, lalu segera jatuh dalam kebingungan.

Sekarang pagi atau sore hari?

Aku memang bangun pada jam-jam tidak tentu. Namun hari ini adalah pertama kali aku tidak ingat, kemarin, kapan aku tertidur?

Tak mau ambil pusing, aku menyibak selimutku dan menoleh ke lemari bolong, lantas berjalan keluar kamar.

.
.
.

~~~

Rupanya di luar sudah gelap.

Aku mengangkat sepatu kets-ku melewati pintu dan berjalan menerobos kegelapan malam.

Segera bau tanah basah yang- kemungkinan-seharian ini diguyur hujan, memenuhi inderaku. Udara dingin menusuk masuk kulitku menjalar ke tulangku. Aku menarik resleting jaket tipisku, menutup leher, dan dengan setengah berlari menuju minimarket yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari sini.

ZEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang