02

12 2 0
                                    


.

.

.

~~~

Buk! Braakk!!

Bunyi terbentur keras memekakkan telingaku.

Kejadiannya begitu cepat.

Aku bahkan tak melihat tendangan maut pria bertopi itu, atau ya.. aku melihatnya. Dalam sekejap mata. Dengan kekuatan luar biasa.

Aku menoleh kaget saat pria di sampingku berdecak, "Cih," sambil menepis ujung celananya, yang sama sekali tak berdebu itu. Lantas dengan tatapan sama, aku melihat lurus ke depan.

Tubuh kekar itu sudah berakhir ke ujung tembok. Aku pun dapat melihat di belakangnya secara tak masuk akal sudah retak, membentuk lubang besar di tembok.

Aku yakin sekarang mulutku membentuk huruf 'O' sempurna.

Aku pasti gila, pikirku. Bila suara wanita menjerit di belakangku tidak membuat telingaku sakit, aku pikir tadi, aku berdelusi tingkat dewa.

Seperti sebuah angin puting beliung baru saja datang dan menghancurkan segala barang di satu titik. Barang rusak dan pecah tersebar di mana-mana. Pria besar itu terlihat tak mungkin selamat, kecuali cacat untuk seumur hidupnya.

Di depan kami, mata-mata murka telah tertuju pada kami.

Di sebelahku pria itu tersenyum pada mereka, yang dibalas desisan seperti ular dan geraman mengerikan.

Belum sempat aku memproses apa yang baru saja dan sedang terjadi, pria itu berkata, "Siap?"

"Eh?"

Tunggu, bukan itu, ini salah. Aku ingin percaya ini semua tidak nyata, tapi belum sempat aku menolak tidak, detik kemudian pemandangan menjadi aneh.

Seperti di dalam ombak air bening atau cemin bergelombang, aku terjebak.

Sebuah tangan tiba-tiba muncul dan nyaris menarikku keluar, tepat saat sekujur tubuhku tersulut api biru dan tangan itu luntur, menjadi partikel beterbangan lalu lenyap terbawa udara. Lalu semua menjadi hitam pekat. Hanya ditemani percikan cahaya di sekitar yang melesat cepat, sampai tiba-tiba tubuhku tersungkur ke tanah berumput.

Ackh!

Aku berguling seperti ikan yang baru diangkat dari air, menggosok kalut sekujur tubuhku. Aku terbakar!

"Upss, maaf. Pendaratan tadi sedikit gagal." sahut suara seseorang.

Aku masih kelojotan menepis api di sekujur tubuhku.

"Hoi, kau sudah tidak pa-pa, bodoh."

Aku tertegun, menyadari ucapan pria itu benar.

Usai berdeham membuang malu, aku mengambil posisi duduk, meski pantatku agak nyeri, lantas mendongak pada pria-yang topinya sudah hilang entah kemana-itu, berdiri tidak jauh dariku. Aku menatapnya tajam. "Siapa kamu?bodoh, katamu?!" aku tidak bisa menahan suaraku untuk tidak keras.

"... Di-di mana ini?"

Di bawahku tanah gersang berumput kering. Aku memutar kepala. Dari jangkauan mata memandang, hamparan luas di bawah cahaya bulan dan bintang.

Aku dapat melihat kerlip kendaraan di kejauhan dengan suara samar keramaian bermeter-meter dari sini.

Ini seperti lapangan atau... sawah?

Dia berjalan mendekat, lalu membungkuk di hadapanku, mengulurkan tangannya. "Butuh bantuan?"

"Kau siapa?" ulangku, tak mengindahkan tangannya. Kembali menatapnya tajam, aku menunggu jawaban.

ZEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang