03

10 1 0
                                    


.

.

.

~~~

"Sial, ada yang menemukan kita." dengusnya.

Aku tak sempat menanyakan apa maksudnya. Ketika pria itu berdiri dan maju selangkah. Kekihatannya seperti sebuah senjata baru saja terbentuk dari tangannya, tapi mataku pasti menipu pandanganku. Senjata itu lantas digenggamnya, dan diarahkan ke langit.

Entah kegilaan apa lagi yang merasukiku, sekarang mereka saling tembak. Aku dapat mendengar bunyi mendesing keluar dari senapan pria itu.

Tiba-tiba merasa lagi-lagi seperti melihat sebuah adegan sebuah film. Aku hanya menonton dalam kebingungan.

Di langit, orang itupun tampak tak mau menyerah. Kilatan cahaya beberapa kali sampai ke tanah dan mengeluarkan efek asap tipis mengepul. Senjata mereka sepertinya berupa elemen panas. Entah apa itu, tapi aku yakin bila satu tembakan saja kena tubuhku, badanku pasti berlubang.

Saat satu tembakan melesat ke langit, sesuatu meledak dalam semburan api, dan sekejap langit malam terang benderang lalu hilang menyisakan asap tipis di udara. Aku tertegun.

Pria itu kemudian mendekat. "Kita harus pergi dari sini. Sekarang!" ujarnya, dengan nada antara memohon dan buru-buru. Menatapku tajam.

"Kenapa? mereka musuhmu. Kenapa aku harus ikut denganmu?"

Aku belum yakin ini apa, tapi yang jelas aku tak sudi ikut dengannya.

Dia menatapku, tatapan yang kian lama kian membuatku merasa buruk dari yang pernah kurasakan sebelumnya.

"Mereka tidak datang untukku, Elisa." balasnya. Sekarang aku dapat melihat kepedihan di matanya dan wtah kenapa firasatku jadi buruk. Aku sadar dia tidak sedang berbohong.

Aku harus mengalihkan pandangan, pikirku.

Pohon di punggungku terasa keras. Tanah berpasir di balik kain celanaku mulai masuk menusuk kulitku yang mungkin tergores. Terasa perih. Terasa sesak. Aku tak bisa berdiri. Pilihan ini menuntutku pada keputusan yang terasa menjijikan.

Kenapa kau tidak membunuhku saja? Kenapa kau mau aku ikut denganmu? Apa untuk menyiksaku sepuasmu? Siapa yang memburuku selain dirimu? Kenapa mereka mau membinasakanku? Apa salahku? Kalian siapa?

Aku ingin menanyakan pertanyaan itu padanya. Aku tidak mau mati, kalimat itu muncul begitu saja dalam benakku. Tidak, sebelum aku menuntut balas.

Aku berusaha untuk bangkit, tapi rasanya kakiku sekarang bukan milikku. Bila dilihat dari sudut pandang orang lain, mungkin kini aku terlihat menyedihkan.

"Kau tidak bisa pergi dalam keadaan ini." kata pria bermata emas itu, sembari meraih tanganku.

"Lepaskan aku!" aku berteriak. "Memangnya kau pikir siapa dirimu?"

Aku sungguh, ingin sekali menyalahkannya. Ini semua salahnya kan?

Dia melangkah menghadapku, sorotnya dingin dalam terangnya cahaya bulan malam ini.

"Aku Chero." ujarnya. "Satu-satunya orang yang ingin melindungimu dari mereka. Dan untuk kedua kalinya, saat ini kau tak bisa kutinggalkan."

"Kau... dasar munafik. Kau pembunuh orang tuaku! bangsat!" sahutku penuh amarah. Memangnya dia pikir aku sebodoh itu!

"Tidak. Secara teknis iya. Kau jelas tahu aku tidak membunuh mereka." jawabnya masih dengan nada datar yang membuat gula darahku semakin naik.

"Tidak. Tapi kau di sana! Kau diam tanpa melakukan apapun. Kau bahkan menjauhkanku dari orangtuaku. Kau tak berhak mengaturku seperti sebuah barang!"

ZEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang