July 16

1.1K 209 23
                                    

July 16th 2014

Louis menghempaskan tubuhnya ke kasur dan menaruh kedua tangannya dibelakang lehernya untuk menjadi bantalan. Ia menatap langit langit kamarnya dan kembali berpikir. Ia baru saja pulang dari Starbucks untuk menemui Eleanor. Ya, Louis dan Eleanor berjanjian untuk bertemu di Starbucks.

Itupun hanya untuk menjelaskan semua yang terjadi di antaranya, Eleanor, dan Selena. Sebut saja kesalah pahaman. Kau tahu? Itu adalah pertemuan sekaligus berbicara empat mata untuk pertama kalinya Eleanor dan Louis. Sebelumnya, mereka belum pernah seperti itu. Bertemu saja mereka pura pura tidak kenal, dan terkadang ada orang lain. Kau tahukan bagaimana sikap Louis terhadap Ele?

Namun tadi, mereka berbicara empat mata, hanya mereka berdua tanpa orang lain. Bahkan yang mengajak untuk ketemuan adalah Louis.

Entah, Louis merasa canggung dan seperti ada yang mengganjal saat bertemu Ele di Starbucks tadi. Belum lagi, beberapa kali mereka tidak sengaja melakukan eye contact. Itu semua benar benar aneh dipikiran Louis. Untung saja Ele baik, dan mau mendengarkan semua perkataan Louis tadi.

Sebenarnya, Louis sedikit lega karena sudah menjelaskan pada Ele dan ia juga berharap Selena tidak marah atau kesal padanya lagi. Louis juga sebenarnya merasa kesepian, karena biasanya Selena selalu menelponnya dan berteriak teriak.

Louis menghelaikan nafasnya dan kini duduk dipinggir kasurnya. Ia mengeluarkan ponselnya dan mulai menelpon seseorang.

“Semuanya belum selesai.” Gumam Louis sambil mencari cari kontak perempuan itu.

On the phone

“Selena?”

“Apa lagi?”

“Gue udah ngomong berdua sama Ele.”

“Wow, itu bagus. Akhirnya lo sadar juga.”

“Lo masih marah sama gue?”

“Siapa yang marah sama lo?”

“Lo marahkan sama gue? Lo juga jarang nelpon gue lagi. Setiap gue yang nelpon, lo selalu dingin.”

“Bukannya itu yang lo mau? :)”

“Tapikan seengganya—”

“Lou, please. Jangan egois, oke? Lo tadi ngomong apa aja sama Ele? Lo ga ngasih harapan ke dia kan?”

“Egois. Iya gue emang egois, gue sadar. Dan semua omongan lo waktu itu ada benernya, sekarang gue ngerasain gimana rasanya jadi Ele. Gimana rasanya suka sama orang, tapi orang itu ga pernah peka, dan orang itu ga suka balik sama gue.”

“Karma.”

“What?”

“Nothing. Lo taukan gimana rasanya? Ga enak, lou. Ga enak. Sakit. Apalagi kalau orang itu ngomong ke sahabat lo kalau dia ga suka sama lo, ga tertarik sama lo, dan dia bilang cinta itu ga bisa dipaksa. Dengerin gue, cinta bisa datang dengan sendiri. Cinta bakal dateng perlahan lahan, lou.”

“Lo nyindir gue.”

“Tumben peka.”

“Siapa bilang gue ga peka?”

“Lo emang ga pernah peka. Keliatan tau ga. Lo udah ngerasainkan gimana rasanya jadi Ele?”

“Tunggu, gue rasa sekarang lo yang ga peka.”

“What? Gue peka apaan coba.”

“Lo pura pura gatau atau emang ga ngerti sama apa yang gue omongin tadi? That’s code.”

“What? Lo ngomong apaan sih?”

“Gue sebenernya—”

“Eh sorry, mama gue udah manggil. Intinya, sekarang lo ga boleh nyia nyia-in orang yang cinta sama lo. Lo cepet deketin Ele dan dapetin dia. Jangan sampe terlambat. Bye, Louis.”

Tutt.. tutt..

“Seharusnya lo juga gitu. Jangan nyia nyia-in orang yang cinta sama lo.”

HAHAHAHA Bentar lagi ending:')

Phone Calls ➠ TomlinsonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang