Bab 1 (Erin)

19 0 1
                                    

Huft...

Bosan. Pikiran itu menggerogoti kepala Erin sebegitu hebatnya sampai - sampai dia ingin membenamkan kepalanya ke dalam kolam renang di belakang rumahnya hanya supaya dia memiliki pekerjaan.

Pasti kalian bertanya - tanya, apa segitu parahnya kah rasa bosan Erin?

Hah! Believe me! Rasa bosan Erin itu udah kelewat batas. Terkadang dia sampai gak tau apa tujuannya hidup di dunia ini. Memang, kalau rasa bosan dan rasa malas di kombinasikan menjadi satu, hal itu bakal menciptakan sebuah kekacauan di dalam diri manusia.

Udah bosenan, males lagi lo.

Tapi bener deh. Kenapa ya Erin bisa semalas ini? Hmm mungkin karena selama ini semua yang dia butuhkan selalu ada di atas nampan tepat di depan hidungnya tanpa Erin harus bersusah payah untuk mendapatkannya, Erin juga tidak pernah merasakan di kondisi sulit dan susah, semuanya mudah baginya.

Ya iyalah, ketika Ayah kalian pemilik perusahaan besar. Apa sih yang kalian inginkan tapi gak bisa terwujud?

Erin bergelung di tempat tidurnya yang empuk sambil memandang langit - langit kamarnya yang berwarna putih bersih. Kamarnya sungguh besar, mungkin saking besarnya kamar itu bakal muat di isi lima puluh orang sekaligus, mungkin kamarnya juga memungkinkan untuk menampung banyak sembako untuk korban - korban bencana alam.

Tapi nyatanya, kamar itu hanya dia tempati sendiri dan tidak berisi sembako, melainkan barang - barangnya yang berserakan tak beraturan di segala sudut ruangan.

Biasanya Erin hanya membeli barang - barang itu dan menggunakannya untuk sesaat sebelum dirinya merasa bosan. Lalu setelah itu dia akan mulai menumpuk barang lagi, lagi dan lagi.

Huft... Ngapain ya? Renungnya.

Masalahnya Erin gak memiliki hobi, gak memiliki aktivitas, gak memiliki teman, pokoknya gak memiliki segalanya yang orang - orang punya kecuali uang melimpah.

Keluarga?

Oh ada tuh. Tapi kayaknya mereka lagi sibuk cari uang deh. Papanya hampir tidak pernah terlihat di rumah, mamanya pun sama, apalagi kakaknya yang sedang berkuliah di luar negeri.

Sebanarnya Erin tidak suka sendirian, tapi begitulah adanya. Erin sama sekali tidak tau apa yang harus dia lakukan. Ujian Nasional sudah selesai beberapa minggu yang lalu, Ujian masuk perguruan tinggi pun begitu. Orang tuanya mengharapkan Erin mendapat kampus negeri bergengsi yang mentereng. Mereka tak peduli jurusan apa yang Erin ambil, selama Erin berkuliah di kampus paling top di negeri ini.

Teman - teman kamu kemana rin? Tanya kalian.

Mmmm kayaknya ada Jawab Erin. Tapi kebanyakan dari mereka itu lintah darat, datang kalau lagi butuh uang, tapi mereka gak pernah ada ketika mereka punya uang.

Kejam? Tapi memang begitu adanya kok. Jadi Erin sama sekali gak percaya dengan istilah Best Friend Forever lebih tepatnya Best Friend ForMoney.

Erin tertawa licik memikirkan hal
Itu. Dia bangkit dari tempat tidurnya, menghela napas lalu berjalan ke arah jendela kamarnya yang tingginya hampir mencapai langit - langit, mengarah ke halaman belakang yang luasnya hampir setara dengan lapangan bola.

Buat apa halaman sebesar itu tapi gak ada seorang pun yang bermain di sana?

Rumah Erin sepi, bahkan lebih sepi dari kuburan, bahkan lebih sepi lagi dari kamar mayat, bahkan kalau di kamar mayat setidaknya masih ada tubuh mati yang tergeletak di sana, rumah Erin seperti kamar mayat tanpa adanya mayat.

Mau lebih spesifik lagi? Bayangkan saja  sendiri tempat paling sepi menurut kalian. Nah itulah rumah Erin.

Erin memperhatikan halaman belakang rumahnya seolah - olah itu adalah hal yang menarik, padahal mah itu hal paling membosankan di dunia. Erin gak tau harus berbuat apa, jadinya dia hanya memandangi halaman belakang rumahnya hanya supaya dia memiliki kerjaan.

Tiba - tiba pintu kamarnya di ketuk, dan masuklah seorang pelayan rumahnya membawa sebuah nampan berisi sarapan. Padahal Erin tidak meminta pelayan itu membawakan makanannya, bahkan Erin gak tau sama sekali nama pelayan ini.

Yaah... Ketika rumah kalian memiliki lebih dari dua puluh pelayan, kalian gak mengharapkan buat mengingat nama mereka satu persatu kan?

Pelayan berseragam hitam putih bertubuh tinggi dan cantik itu meletakan nampan makanan di meja samping tempat tidurnya dengan sunyi, tidak ada ucapan selamat pagi, ataupun basa basi kecil hanya untuk sekedar beramah tamah dengan majikan. Setelah itu dia keluar, sudah hanya seperti itu. Dan Erin sedirian lagi di kamarnya.

Rasa penat menyelimuti diri Erin, dia tidak tau harus kemana atau berbuat apa, tapi satu hal yang pasti, dia harus keluar dari rumah ini.

***

Sejam kemudian Erin sudah berdiri di tengah - tengah taman kota, di kelilingi pepohonan dan orang - orang yang sedang menghabiskan waktu senggang mereka dengan duduk - duduk ataupun mengobrol. Udara semerbak bau wewangian bunga, es krim, dan daun kering.

Erin melirik salah satu kursi taman dan memutuskan untuk duduk di sana saja, di bawah sebuah pohon sambil memperhatikan suasana sekitar. Burung - burung sesekali berterbangan di atas kepalanya, suara kendaraan di kejauhan, anak - anak yang berlarian sambil tertawa lepas. Semuanya terasa nyaman, apalagi kalau Erin memejamkan matanya, angin sepoy - sepoy menerbangkan beberapa helai rambu ke wajahnya, sungguh menenangkan.

Hanya hari minggu normal seperti biasanya, gak ada yang spesial.

Erin membuka matanya lalu memperhatikan seorang anak kecil yang sedang membeli es krim di seberangnya, di temani ayahnya yang sedang berdiri di samping anak kecil itu sambil membantunya memilih rasa es krim yang enak. Erin sudah sama sekali lupa kapan terakhir kali dia menikmati waktu - waktu santai seperti itu dengan papanya, mungkin terakhir kali saat dia berumur lima tahun.

Dan dia juga tidak terlalu mengingat hal itu.

Lalu di kejauhan dia melihat pasangan suami istri yang sedang mengajak bayi mereka yang barumur sekitar tiga tahun bermain. Mereka tampak bahagia, seolah ketika mereka bersama beban berat terangkat dari pundak mereka.

Hati Erin serasa di remas - remas melihat semua pemandangan ini. Apakah bahkan orang tuanya peduli padanya? Mereka hanya berpikir bahwa Erin membutuhkan uang mereka saja, tapi mereka tidak tahu kalau sebenarnya Erin juga membutuhkan kasih sayang mereka.

Papa dan mamanya bekerja hampir 24 jam setiap minggunya, tak pernah makan malam bersama, atau pergi bertamasya seperti keluarga lainnya, bahkan sulit bagi mereka hanya untuk sekedar duduk - duduk barang semenit sambil mengobrol atau tertawa, uang dan pekerjaan menjadi prioritas nomor satu di rumahnya. Semua orang terlalu sibuk dengan laptop dan juga gadget mereka.

Apa yang harus gue lalukan?

Tepat pada saat pertanyaan itu mengusik benaknya, seseorang duduk di sampingnya dengan tiba - tiba, gak ada basa basi semisal "Bangku ini kosong gak? Boleh gue duduk?" Gak ada tuh. Dia duduk saja begitu tanpa memperhatikan Erin yang kini melihat ke arahnya dengan pandangan bingung dan kaget.

Herannya cowok ini hanya diam, memandang kedepan selama beberapa menit lamanya, seolah dia hanya sendirian dan Erin tidak bersamanya di bangku itu. Sebenarnya Erin juga gak peduli sih, toh itu urusan dia. Lalu sedetik kemudian terdengar suara isakan kecil. Erin menoleh lagi dengan bingung, lalu dia melihat cowok itu menutup kedua wajahnya dengan tangan.

Cowok itu menangis.

- Bersambung -

All The Wrong ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang