Tok... Tokk... Tokk...
Perih...
Adalah rasa yang menyapa saat kau berusaha membuka sembabnya mata. Mata yang lelah mencurahkan lara. Lara yang bernanah tanpa penawar rasa.Tokk...tokkk...tokk...
"Bangun sayang... Sudah siang..."
"Iya neekk..."
Parau...
Suara yang dihasilkan laring yang telah lama kering.
Kering karena liur pun telah berubah jadi air mata. Yang mengalir tanpa jeda. Menghias malam dengan temaram cahaya. Tapi sakit tetap dirasa. Walau badan telah lelah menanggungnya.Dingin...
Lantai yang beradu dengan telapak kaki yang kasar. Kasar karena jalan yang telah dilaluinya. Jalan hidup yang tak pernah mulus baginya. Penuh kerikil yang terus menyiksa,menghias,menuntun,melawan takdir yang ingin menang atas lemahnya jiwa.Pagi bukanlah awal bagiku,karena malam bukanlah akhir hari yang ku nanti. Pagi adalah petaka,cerita yang terus meminta untuk dibaca,ditapaki,dijalani dan dibenci.
Dinginnya air yang mengaliri lekuk tubuh tak akan pernah mampu mengusir kosong yang terus saja tercipta,walau beribu cerita telah ku jalani,beribu kisah telah ku lalui. Nyatanya hanya kosong yang mampu mengisi hati ini.
Hari ke 13 di bulan Juni. Jadi penanda hidup yang seharusnya baru. Hidup yang seharusnya asing atau malah aku yang terasing. Terasing dari hidup. Terasing dari kehidupan.
Ku langkahkan kaki menuju dapur,sambil membenarkan dasi yang seharusnya mengikat leher,menahan laju oksigen,mengantarku pada kegelapan sepi yang selalu ingin aku nikmati. Tapi tidak hari ini.
Hari ini dasi mengikat dibawah kerah berwarna putih,terlalu putih. Hingga hampir membutakan mataku. Mata yang telah buta akan putih yang tak bercela.
"Sini sayang..."
Wanita tua yang memanggilku sayang ini adalah neneku. Yang dengan besar hati mau menerima cucunya tinggal dan menghabiskan makan di rumahnya. Dan sayang... Sayang bukanlah namaku. Sayang adalah mantera. Mantera yang ia harap bisa mengikatku pada kehidupan. Bukan lagi gelap kematian seperti yang aku cita-citakan.
"Sarapan dulu... Biar nanti kuat sampe sore sekolahnya... Hari ini kamu MOS kan??"
Mengangguk,seperti ayam yang mematuk butiran beras yang dilemparkan si pemilik. Dan aku hanya bisa mematuk tanpa sanggup memprotes ketidak sopanan si pemilik. Yang melempar makanan kepada makhluk yang berada di bawah rantai makanannya.
Tapi nenekku bukan pemilik ayam yang tak tahu sopan santun itu. Ia hanya wanita tua yang di paksa menjaga cucunya yang tengah putus asa. Demi uang bulanan yang mampu menopang masa tuanya. Bukan demi melihat ketidak bergunaan seorang manusia.
"Nanti kamu naik bis aja... Parman harus mengantar nenek untuk check up. Sudah tahu rutenya kan??"
Pelan...
Anggukan tanpa tenaga yang cukup untuk membungkam mulut yang dipenuhi keriput. Keriput yang penuh cerita bahagia di masa mudanya.Akankah aku merasakannya??
Masa muda yang bahagia??
Atau keriput yang mencerminkan usia??
Entahlah... Bahkan aku pun tak tahu,sampai kapan aku bisa bertahan dengan lara dan kepalsuan yang terus saja menjadi kawan.
"Kalo gitu... Aku pergi sekarang aja nek..."
Pelan...
Anggukan nenek merespon kalimatku. Ia terlalu sibuk mengunyah dengan barisan gigi yang tak lagi lengkap. Mencerna kehidupan yang kini menghambar di lidahnya. Sedangkan aku... Sayang sekali. Lidahku masih bisa mengecap rasa. Walaupun hanya pahit yang sering terkecap olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ketika senja bertemu malam
Teen Fictionketika gelap bertemu dengan temaram cahaya yang menghangatkan. tapi gelap adalah serakah. yang butuh lebih dari sekedar temaram untuk menuntun jalannya.