BAB 3

38 1 0
                                    

Terdampar di rimbunnya gedung tinggi yang menjulang.
Aku terlelap di bawah sengat matahari siang.
Dan petikan ukulele nyaring.
Dengan nada sumbang.

Erik...

"Rokok??"

Aku kembali mnghisap puntung beracun yang Erik tawarkan.
Tidak enak.
Tapi aku menyukainya.

Bukankah hidup seperti itu??

"Bolos lagi..."

"Eh... Bukannya kamu yang ngajak aku buat bolos??"

Erik terkekeh.
Menampilkan barisan giginya yang tak utuh.
Hilang??
Lepas??
Entahlah... Aku tak peduli.

"Gue cuma nyapa lu doang juga..."

Puntung kembali berpindah ke tangannya.
Ia hisap kuat-kuat gulungan racun itu.
Ada bekas bibirku disana.
Tepat dimana ia meletakan bibirnya juga.

Dan aku tersenyum.
Entah mengapa aku tersenyum.

"Temen lu... Gak apa lu dorong kayak tadi??"

Dan awan menutup matahari.

"Dia kayak kesakitan gitu."

Bayangan menghilang.

"Gue gak nyangka lu bisa sekasar itu."

Dan gelap menutupi hangat.

"Hahahhaaa...  Tapi bagus juga."

Erik menariku ke dalam lengannya.

"Pelajaran buat cewek manja kayak dia."

Dan awan bergerak meninggalkan matahari.

"Kamu kenal Citra??"

Erik menghembuskan asap putih ke wajahku.
Bau khas tembakau beserta nikotin seolah membasuh mukaku dengan panas.

Dan tersenyum.
Entah mengapa aku tersenyum.

"Temen SD gue..."

Erat.
Dekat.
Lekat.
Dan aku bisa merasakan detak kehidupan di dada Erik.

"Tapi dia nyebelin,dia nyebelin kan??"

Dan tersenyum.
Entah mengapa aku tersenyum.

Sudah berapa kali aku tersenyum?

Aku menjadi asing.
Melakukan hal asing.

Tapi aku tersenyum.
Entah mengapa aku tersenyum.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Erik membawaku lari.
Seperti angin yang meniup layangan putus.
Tinggi...
Jauh...
Aku melayang bebas...
Tak tentu arah...

Ia memberi kehangatan dalam kegelapan.
Menunjukan kejujuran dalam padatnya kepalsuan.

Erik akan datang.
Setiap pagi.
Dari balik pagar sekolah.
Lusuh.
Kumuh.

Dan aku akan lari.
Lari menjemput angin yang ia tiupkan.

"Bolos lagi?? Emang bokap nyokap lu gak akan marah??"

Orang Tua??
Apa itu orang tua??
Aku sudah kehilangan mereka.
Semenjak ingatan mulai merekam.

"Aku tinggal sama nenek."

Dan nenek hanya peduli pada uang bulanan.
Ia terlalu tua untuk peduli tentang kehidupan.

Erik kembali menarikku ke dalam lengannya.
Hangat menyeruak.
Disini.
Di dekat ulu hati.

ketika senja bertemu malamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang