Waktu Nora berumur lima tahun ia tidak mengerti kenapa ibunya mau menjejerkan meja-meja di kebun belakang mereka demi Thanksgiving—terlalu banyak meja, merepotkan. Halaman rumah yang dipenuhi semak belukar berbuah beri dan bunga berbagai macam warna jadi berbeda, warna hijaunya kian lindap seiring dengan tambahan furnitur. Perubahan signifikannya diawali dengan puluhan kursi, taplak-taplak putih di atas meja, pula serangkaian lampu kecil untuk penerangan malam dipasang di pagar—atau sekalian dipancang dengan tiang temporer.
Tanggal 27 Novembernya, warna hijau rerumputan sudah hampir seluruhnya hilang. Kebunnya dijejali hiasan-hiasan, dua anjingnya—Oreo dan Cheesecake—orang-orang, makanan, dan warna-warna yang membikin bocah tersebut sakit mata. Puluhan manusia melewati pintu samping rumah Nora; beberapa tetangganya, keluarga dekat maupun jauh, dan orang-orang yang bahkan tidak ia ketahui ditemui ibunya di mana; terdiri dari berbagai umur, anak bayi yang masih tak berdaya sampai orang tua yang sudah dua pertiga abad.
Anak perempuan itu senang sih, maksudnya, siapa yang tidak? Ada banyak makanan—jenis yang jarang dia temui dan enak—lalu ada para wanita dewasa yang diam-diam memberinya permen atau coklat, pun banyak teman seumurnya untuk diajak bermain dan berlari-larian (juga merusak kebun ibu, sedangkan kalau hari biasa tidak mungkin boleh). Akan tetapi, ia bingung saja kenapa ibunya senang repot-repot seperti ini; masih bisa tertawa padahal satu mug kesayangannya baru saja pecah, esoknya bercerita terus-terusan soal perayaan Thanksgiving padahal kebunnya rusak, atau soal ibunya yang mengajak ayah melakukan hal itu lagi setelah mereka kelelahan setengah mati.
—
Nora lebih memilih meredam kuriositasnya dan menikmati kesenangannya kala ia masih bocah. Akan tetapi, rasa penasarannya sudah lelah ditekan ketika ia berumur enam belas tahun, dan segala macam ritual soal mengundang orang-orang ke rumah telah terlaksana sebanyak lima kali.
Waktu itu ia tidak lagi menganggap anak-anak kecil menyenangkan, mereka cuman bisa berlarian ke sana kemari dan merusak hal yang sudah rapi; tidak pula berpikir bahwa coklat-coklat dari orang tua bisa menyuap dirinya, ia juga sudah tidak diberikan atau mau lagi, namun sekarang malah ditanyai hal-hal yang untuknya tidak esensial. Di akhir hari hanya akan ada lelah, capek selama satu hari harus berjalan bolak-balik untuk mengambil ini itu—belum lagi kalau ibunya meminta dipotret atau apa—lantas ketika semua tamu bubar dan tersisa beberapa keluarga, yang ada cuman kekacauan bekas Thanksgiving. Nora sudah pusing bukan kepalang melihat halaman rumahnya malam tersebut.
Setelah merasa kelewat penat akan hal-hal ini dan baru saja melipat taplak meja terakhirnya, Nora mau tak mau bertanya dengan nada lelah. "Mom, why you invited so many people?"
Kemudian ibunya yang sedang membawa panci menoleh, menaikkan satu sudut bibir dan melempar sebuah tatap spesifik. Nora tidak suka dengan pandangan ibunya, sorot mata orang dewasa yang menandakan seakan-akan ia masih terlalu muda untuk mengerti situasi, lebih kesal lagi karena pertanyaannya tidak dijawab secara spesifik. Ibunya hilang di balik tembok dapur sebelum berkata, "It's Thanksgiving and the more the merrier."
Ayahnya ikut-ikutan tersenyum, lantas mengangguk dan mengedipkan mata kepada anak perempuannya—menyuruh gadis itu untuk menerima jawaban ibunya. Nora hanya bisa menghela napas panjang, mungkin ini bukan saat yang tepat untuk mendiskusikannya, apalagi berdebat karena menurutnya hal ini merepotkan; sekali lagi, ia memilih diam dan menikmati kehangatan rumahnya.
—
Mungkin Nora tidak akan pernah mengerti jika saja ia tidak pergi jauh dari rumah (meninggali asrama di universitasnya), mendengarkan kisah orang-orang secara antusias, atau memerhatikan sekeliling lebih saksama. Ia pernah "jatuh" dan mengalami penolakan dalam jumlah tidak terhitung, entah orang tuanya yang melarang melakukan sesuatu lantaran dinilai kurang baik atau memang dunia sedang menyediakan rintangan kejam untuknya. Akan tetapi, ia tidak pernah memikirkan orang-orang yang menjalani kesulitan dalam taraf mengerikan, dirinya malah lebih sering membandingkan kegagalannya dengan keberhasilan orang lain; menjebak diri sendiri dalam kemurungan. Dan dalam perjalanannya di sekitar kampus, ia berpikir bahwa ada yang salah dengan caranya melewati hidup selama ini.
Di luar sana ada orang yang tidak punya rumah (sementara ia kadang masih mengeluh kamar asramanya begitu sempit), banyak manusia yang kelaparan lantaran tidak punya uang, beberapa memilih mati dari pada hidup dalam kesulitan; memikirkan hal tersebut ada sebuah kontemplasi jika dirinya harus jauh lebih bersyukur. Bersama kesadaran itu pula, Nora makin sering memberi dan membantu, menikmati apa yang ia miliki, pun membangun rencana untuk hidupnya juga kebaikan orang lain. Senyum kecilnya juga suka terbentuk jika melihat orang lain berbahagia; bersenang hati bahwa nyatanya masih ada keceriaan di hidup yang tidak akan pernah mudah.
Anak kecil yang dulu mempertanyakan semua hal dan mengabaikannya di lain waktu, hilang sepenuhnya ketika ia dikecewakan dengan berat, lantas dipaksa mengerti situasi yang kompleks. Sisi remaja Nora yang labil dan tidak mengerti arti konsekuensi, lindap perlahan-lahan kala pandangnya dipertemukan dengan sisi gelap kehidupan. Seorang berambut coklat ikal yang tinggal di rumah selama bertahun-tahun, gadis yang menapakkan kaki di dunia berbeda pada masa kuliahnya, dan Nora yang menyambangi rumahnya setiap beberapa bulan adalah orang-orang berbeda; Nora bertransisi menjadi lebih dewasa, bersamaan dengan hal tersebut, ia memahami hal yang dulu sempat ia abaikan.
—
Hari ini Nora ada di rumah, sekali lagi menyaksikan halaman belakang rumahnya dijejali manusia, furnitur, pula berbagai macam makanan. Namun, sekarang ia tidak kebingungan kenapa ibunya meladeni segala hal di sini dengan senyum merekah, tidak pula kesal ketika anak-anak berlarian ke sana ke mari atau saat orang tua menanyakan terlalu banyak hal. Ia merasa tidak seegois tahun-tahun sebelumnya, merasa secuil lebih dewasa dari dirinya kemarin hari, pula merasa makin mudah berbahagia dari dirinya yang tinggal di masa lalu.
Agaknya ia telah mengerti, bahwa di antara kerepotan yang harus dilalui ibunya, ada senyum-senyum mengembang dan tawa yang mengisi atmosfer. Di atas rerumputan hijau ini, ada kebahagiaan—tidak lama bisa berlangsung memang—setidaknya ibunya telah memberikan untuk orang-orang, termasuk yang tidak bisa tiap hari membelinya, dan lantaran keceriaan tersebut... there will be some relief, happiness, and a weird pleasure. Something you get when you realise someone is smiling and the reason is you.
Mengetahui apa yang disediakan untuknya berkali-kali, namun ia cuaikan begitu saja, kini Nora cuman bisa tersenyum (antara menertawakan dirinya atau terkesan melihat sekitarnya), akan berusaha merangkul setiap kebahagiaan kecil yang melayang di atas sini. Doing some goods and making many, many people smile.
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekerlip Mata, Sejuta Fraksi
Short Storykoleksi cerita pendek. dipungut di jalan, di antara manusia yang lupa pada sekitar. Cover Photo © Marta Syrko.