Tungkai Angkasa berhenti tepat lima langkah sebelum tangannya mampu menggapai pintu kaca mini market—pun membuang puntung rokok secara terpaksa. Atensinya dicuri oleh seorang gadis yang rambutnya digulung serampangan dengan bantuan jepit berwarna coklat gelap, pupil gadis itu tertuju pada ponsel di meja, sementara tangan kanannya menggocangkan kaleng Nescafe pelan. Sandra. Bukan gadis yang ia kenal dekat, tapi cukup sering ia jumpai lantaran satu mata kuliah mempertemukan mereka.
Destinasinya kini berubah menuju meja bundar di ujung kanan. Ketika jarak mereka sangat sempit, cahaya lampu neon dari toko 7-Eleven itu gagal menyentuh si gadis sebab ada tubuh jangkung yang menutupinya. Sandra mengangkat kepala.
"Ngapain?" tanya Angkasa setelah membuang asap ke arah samping—Sandra memang tidak terlalu peduli dengan asap rokok, tapi tetap saja Angkasa punya sopan santun untuk tidak mengarahkannya pada si gadis.
Pupil coklat gelap itu menilik pria di hadapannya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Geming sampai memorinya menemukan siapa lelaki di depannya. Akan tetapi, bukan berarti ia berniat beramah-tamah. "Ngapain? Duduk."
Lelaki itu tertawa sebentar—otomatis menghentikan kegiatan merokoknya—hanya untuk mendapatkan delikan tajam dari gadis yang sungguh sudah kehilangan tenang. "Tau gak? Cewek gak baik sendirian malam-malam." Kalimatnya mendapat pandangan yang malah makin nyalang.
"Lah, loe juga tau ngerokok berlebihan gak baik, tapi masih aja beli rokok terus. Kenapa?"
Sarat sindiran. Tapi bukan itu yang Angkasa lihat dari Sandra. Ia bisa merasakan sesuatu yang gadis itu sembunyikan, sesuatu yang direnggut akibat kehadirannya; mungkin kesendirian, damai yang coba ia cari jam satu malam di tongkronganpaling mudah dijangkau? Jadi Angkasa tidak mencoba sembunyi karena iris tersebut punya perasaan lelah yang sama dengan miliknya.
"Karena hal menyenangkan yang bisa dijadikan pelarian memang buruk—atau setidaknya terkesan buruk. Namun, setidaknya tidak lebih buruk dari apa yang aku hindari."
Penjabaran itu rancu, tidak mengandung makna pasti yang bisa diurai dengan mudah. Intinya ditutup-tutupi dan hanya orang-orang yang mungkin merasakannya akan mengerti dengan mudah. Maka ketika bibir Sandra berjungkit sebelah, Angkasa tahu bahwa gadis itu juga sedang berapa dalam pelariannya. "Loe lari dari apa, San?"
Lensa yang tadinya tajam, kini mengalihkan pandang pada deretan makanan yang sering ia santap—makanan yang hanya perlu dimasukkan ke oven milik 7-Eleven—mau berucap, namun tidak tertarik menunjukkan ekspresinya secara gamblang. "Rumah."
"Huh?" Angkasa mengobservasi pipi tirus tanpa riasan tersebut, melihat raut yang sekarang terkesan sedih.
Malam itu Angkasa berhasil menghilangkan ekspresi jutek Sandra dari wajahnya pun Sandra sukses membuat Angkasa membuang puntung rokoknya yang masih setengah ke tanah dan menggilas benda tersebut hingga remuk bentuknya. Lelaki itu mengamati tembakau kering di ujung kakinya sembari tersenyum asimetris—kurang lebih sama dengan si gadis—mengasihani dirinya sendiri. Ia berujar, "Ternyata kita tidak jauh berbeda."
Nama mereka Sandra dan Angkasa. Mereka lebih baik di luar sini, merokok atau mungkin menjejali perut yang belum sempat diisi daripada di rumah kaya makian yang dilempar sana-sini. Tidak ada rumah yang bisa disukai jika isinya adalah keributan-keributan tidak menyenangkan dari para penghuninya. Mungkin kalimatnya memang bukan untuk mereka, tapi sepasang telinga tetap bisa mendengar, dan jiwa tetap bisa terpengaruh hingga rusak.
end.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekerlip Mata, Sejuta Fraksi
Short Storykoleksi cerita pendek. dipungut di jalan, di antara manusia yang lupa pada sekitar. Cover Photo © Marta Syrko.