"Bugnya kagak nahan, njir. Gua sampai hampir ngebanting meja. Gua saranin entar jangan di server itu."
"Alah! Alibi! Lu aja yang lemah."
"Serius, Pak! Kapan gua bohong?"
"Ler, yang benar itu, kapan lu pernah jujur? Congor lu bakal busuk kalo kagak bokis sehari aja."
"Perlu gua belah dada gua biar lu bisa percaya sama gua, Bang?"
Um... oke. Olivia terjebak dalam situasi paling awkward sekarang. Cewek itu cuma bisa duduk di jok penumpang belakang sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sedangkan orang yang duduk di depan bersama abangnya tersebut adalah cowok yang kurang lebih sekitar dua tahun lalu pernah menolongnya.
Sejak beberapa menit lalu, saat Olivia diseret oleh Ghifari menuju lokasi dimana mobilnya diparkirkan, hingga pada akhirnya dia bertatap muka secara langsung dengan cowok bernama Kafka yang tak lain merupakan teman abangnya sendiri. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sampai detik ini. Duduk diam dengan mulut tersegel. Bingung harus berbuat apa. Tak tahu harus bicara apa. Padahal biasanya cewek itu selalu cerewet. Meski di depan teman-teman Ghifari sekalipun.
"...terus gua juga dapat email yang kemarin kita mention di postingan minggu lalu."
"Oh, ya udah. Kalo gitu hari ini kita ajakin Bima atau Ical aja," kata Ghifari yang masih fokus mengemudi.
"Jangan Bima, Bang. Gua kemarin nyolong item dia, belum diganti sampai sekarang—"
dan bla...bla...bla!
Nggak tau! Olivia nggak ngerti. Dia pakai headset. Iya, beneran. Olivia lagi pakai headset sambil dengerin lagu Taylor Swift yang judulnya You Belong With Me. Ah, jadi pengin berkata kasar karena lirik lagu itu benar-benar bikin risih. If you know what it means.
Cewek berambut pendek sebahu dengan kacamata bulat itu menoleh ke jendela. Menikmati situasi jalanan yang ramai di sore hari. Sekaligus merenungi nasibnya yang miris. Dulu, jika saja dia tidak tahu kalau ternyata Kafka itu pacar sahabat lamanya, mungkin dia akan sangat senang. Tapi sekarang sudah berbeda. Olivia terlanjur patah hati. Jadi cewek itu cuma bisa pasrah saja. Ya... terima nasib.
Olivia melirik pada tas ransel yang tergeletak di sampingnya. Teringat akan sebuah benda yang tidak pernah absen sekali pun untuk dibawa. Apa lagi kalau bukan jaket denim punya cowok yang duduk di samping abangnya sambil bercanda nggak jelas itu?
Sebenarnya, Olivia pengin banget ngembaliin jaket tersebut, tapi takut tengsin. Nanti kalau Kafka ternyata lupa soal kejadian itu, gimana? Ketemu sekali saja dengan kejadian tak biasa itu nggak bisa dijadikan faktor utama agar Kafka masih mengingatnya. Dua tahun, cuy! Lagian juga sejak ketemu tadi mereka nggak saling sapa dan memperkenalkan diri. Cuma bertukar senyum saja. Itu pun sudah hampir bikin Olivia ngayal keblinger.
Detik demi detik, kemacetan dan hembusan udara segar dari pendingin membuat Olivia hampir terbuai oleh rasa kantuk. Jika saja mobil abangnya tak berhenti, mungkin sejak tadi Olivia sudah melesat ke alam mimpi. Cewek itu mengedipkan matanya berkali-kali. Tangannya otomatis melepas headset yang menyumpal kedua telinganya dengan musik.
"Lho, Aghi mau kemana?" tanya Olivia dengan suara yang agak serak.
Abangnya yang sudah melepas sabuk pengaman pun turun sembari menjawab, "Beli sebat. Lu mau apa? Biar sekalian."
Olivia senyum manis. "Yang biasa. Hehehe."
Ghifari mendengus. "Udah gede minumnya susu. Gua cekokin Bintang deh entar sesekali," omelnya sebelum membanting pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRAWBERRY CRUSH
Teen FictionSatu kotak susu rasa stroberi dan sebuah jaket denim nggak pernah absen dari tasnya Olivia. Cewek itu selalu membawa dua benda tersebut sejak duduk di bangku SMA bahkan hingga lulus sekalipun. Setiap hari. Membuat tasnya selalu penuh. Kebiasaan ters...