Day 2 | Es di Musim Panas

1K 150 9
                                    

Di hutan bukit ini, semuanya serba menyejukkan. Dersik kanopi hutan yang saling bergesekan, angin yang datang, bahkan bunyi percikan aliran sungai, semuanya begitu menenangkan. Tidak bisa dipungkiri, wajar jika liburan menjadi suatu hal yang paling dinantikan para siswa, untuk berehat sejenak. Di sinilah aku, berjalan menyusuri jalan setapak dengan senyum yang mengembang, menikmati setiap inchi keindahan alam yang hutan ini suguhkan, aku terlena.

Tibalah pada salah satu tempat favoritku, di sebuah tebing sebelah barat hutan ini. Aku duduk termangu pada tanah berumput. Meskipun terkagum dengan pemandangan di bawah sana, aku hanya bisa menatap nanar sembari mengulas senyum tipis. Aku heran, entah mengapa aku suka sekali tersenyum, pada semua hal, meskipun aku sedang hambar. Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, apa ini tidak mengapa?

Baru saja hendak melarutkan diri dalam pikiranku, sebuah suara keras mampu membuatku menoleh. Itu tadi apa? Kaki ini beranjak, kembali melangkah ke dalam hutan untuk segera menemukan apa yang bisa membuat suara berisik seperti itu. Apa yang kulihat selanjutnya membuatku terhenyak. Di sana, aku melihat lelaki heterokrom, bergelut pada esnya seorang diri. Aku berdecak kagum.

"Siapa di sana?" Ia menoleh, mendapatiku sedang berdiri tak bergeming, tak jauh dari tempatnya berpijak. Setelah menarik kembali esnya dia mendesah. Sepertinya, aku mampu membaca apa yang ia pikirkan? 'Oh, hanya gadis yang kemarin' lihat ekspresinya, dia seakan mengatakan hal tersebut.

"Itu tadi sesuatu yang mengagumkan, Todoroki-kun." Lelaki heterokrom bernama Todoroki itu tak menyahut. Mungkin merasa kalimatku bukan hal luar biasa, sebagai pengguna quirk, menurutnya itu hal yang biasa. Tetapi berbeda dengan aku kan? Aku tak memiliki quirk. Ya, aku hanyalah [Full Name], seorang gadis desa biasa.

"Biar kutebak, pasti kau sedang bosan, senggang dan tak tahu harus melakukan apa jika terus bersidekap di rumah kakek-nenekmu kan? Makanya kau kemari untuk sekedar berlatih." Ujarku sambil berjalan menghampirinya. Kemarin, aku membantunya menemukan rumah kakek lelaki itu, bukan hal yang sulit, karena semua orang di desa ini kenal dengan keluarga Todoroki. Begitupun aku. Bahkan dari pertama aku melihat dia mondar-mandir kebingungan di jalan, aku tahu ia adalah Todoroki, sejak awal melihat. Berbeda denganmu, kau tak mengetahuiku sama sekali.

"Baru kali ini aku bertemu gadis yang suka sok tahu. Tapi.. tebakanmu benar."

Tebakanku memang seringkali benar. Karena aku tak sedang menebak, aku hanya mengungkapkan fakta dari apa yang kulihat. Batinku. Lagi, aku tersenyum.

"Kau tidak bertanya?" Dia sedikit mengerutkan dahi.

"Bertanya apa?"

"Pertanyaan seperti... mengapa aku di sini?"

"Oh.. kau sedang menguntitku?"

Yang benar saja! Dia pikir aku mau repot-repot membuntutinya? Aku tergelak, dia terheran. Aku tertawa sampai terduduk di tanah berumput, Todoroki orang yang lucu.

"Di mana letak kelucuanku hingga kau tertawa seperti itu?" Aku menggeleng, menarik napas setelah usai tertawa. Tentu perkataanmu tadi, bung. Darimana ia dapatkan spekulasi bahwa aku menguntitnya?

"Untuk sekarang anggap aku tidak ada Todoroki-kun. Lanjutlah berlatih." Ucapku, ia hanya berbalik dan kemudian bergelut pada dua quirk-nya. Es dan api. Todoroki, dia begitu heterokrom.

-oOo-

"Jadi sekarang apa?" Tanyanya, setelah begitu lama bergelut untuk melatih kedua quirk-nya. Kini, giliran aku yang sedikit mengerutkan dahi.

"Untuk apa kau di sini? Sampai menungguiku berlatih?"

"Aku sama sepertimu Todoroki-kun. Kita sama-sama pelajar yang sedang bosan, di hari liburan musim panasnya."

"Oh, jadi kau benar mengikutiku."

"Tentu saja tidak." Aku berdiri, melangkah menghampirinya. Kemudian, aku segera menyambar tangan kanannya, membuatnya berjalan mengikutiku. Ah, tangannya sedikit mengeluarkan sensasi dingin. Apa karena ia sehabis menggunakan quirknya?

"Oi." Todoroki nampak membelalakkan mata. Kenapa dia terkaget seperti itu?

"Aku ke sini untuk mengunjungi tempat favoritku, Todoroki-kun. Dan tidak sengaja mendengar suara berisik dari quirkmu." Aku melepas tangannya ketika sampai di tebing. Meskipun dia hanya menunjukkan ekspresi datar, matanya tidak bisa membohongi apa yang sedang ia rasakan.

"Indah bukan?" Tanyaku. Dia sedikit mengangguk. Aku tersenyum puas, kemudian mengalihkan pandangan pada pemandangan di bawah sana. Tampak dari sini, semua terlihat begitu hijau, pepohonan, rerumputan, dan sawah. Terlihat juga, jalanan yang berkelok, rumah-rumah yang menyebar, dan kabut tipis yang menggantung. Aku kembali menoleh ke arah Todorki, ketika angin tiba-tiba berhembus. Mengamatinya yang masih tak bergeming memandangi pemandangan di depan sana, rambut dwi warnanya tergerak oleh angin. Melihat Todoroki seperti itu, aku terhenyak. Indah. Kenapa keindahan Todoroki yang seperti itu dapat mengalihkanku dari keindahan lain yang disuguhkan oleh alam?

Angin yang berdesir, seakan ikut mendesirkan hatiku. Namun mengapa.. di tengah desiran ini, ada rasa sesak yang menyeruak?

"Kau sering ke sini ya?" Katanya, membuatku kembali tersadar ke dunia nyata. Ia mendudukkan diri, aku pun demikian.

"Ya, kalau hari efektif sekolah, aku biasa menyempatkan diri seminggu sekali ke mari. Tapi kalau liburan begini, sepertinya lebih sering."

"Untuk apa?"

"Hm.. menyendiri mungkin? Ah tidak, aku senang bercengkrama dengan alam." Jawabku, sambil mengulas senyum.

"Oh.." dia melirikku, menatap manikku begitu dalam. Kenapa? Apa ia menangkap maksud lain dari jawabanku? Hanya sepersekian detik, Todoroki kembali menoleh lurus ke depan. Lama kami berdua terdiam, asik dengan pikiran masing-masing. Hanya suara-suara daun bergesekan karena angin yang dapat kami dengar.

"Todoroki-kun." Ucapku tiba-tiba, setelah hening kian berlangsung lama. Dia menoleh. "Boleh aku pinjam tanganmu?"

Todoroki mengerutkan kening. Pasti sedang terheran dengan permintaan anehku. Tapi walaupun begitu, dia mengulurkan tangan. "Untuk apa?"

"Tolong keluarkan es kecil dari tanganmu, sebongkah saja." Pintaku. Lagi, dia tampak sangat terheran, tapi melaksanakan apa yang kupinta. Sebongkah es kecil ada di telapak tangannya sekarang, aku tersenyum riang. Segera saja kedua tanganku menggenggam tangan kanan Todoroki, beserta esnya.

"Aku sedang ingin merasakan es di musim panas." Gumamku, kemudian memejamkan mata.

Esmu ini.. begitu menyejukkan hati. Seperti sebuah oase di panasnya padang pasir. Seharusnya dingin es mampu membuat sesuatu membeku. Tetapi kenapa, diriku malah meleleh dengan esmu yang menyejukkan ini? []

-oOo-

A/N :
Niatnya pingin bikin yang singkat dan ngena, tapi di chapter ini gak sadar wordnya keblablasan xD

Jangan lupa tinggalkan jejak jika berkenan;))

7 Days in Summer | Todoroki ShoutoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang