"[Name], coba jelaskan padaku, katamu pohon ini spesial. Spesial darimananya?!" Todoroki menghentak-hentak tanah kesal lantaran berusaha menghindari kerubungan semut merah besar. Ia mendecak, aku terkekeh melihat tingkahnya. "Oi, apanya yang lucu?"
Aku memetik sebuah apel lagi, dan memasukkannya ke dalam keranjang, tak menghiraukan Todoroki yang masih bersua sebal.
"Dulu kecil kita berdua terkenal nakal di seluruh penjuru desa. Berlari, bermain kian ke mari. Kita bahkan pernah mencuri apel dari kebun milik orang ini. Tapi karena pemiliknya gemas sebab kita masih begitu kecil, beliau malah mengajari kita berkebun daripada bermain. Dan pohon ini yang berhasil kita tanam bersama."
"Terdengar seperti kau sedang mendongeng."
Kuputar kedua bola mataku malas. "Hah? Aku kan cuma memberi penjelasan yang kau minta, bukan sedang mendongeng Shoto. Nah, siapa sangka dulu Shoto kecil yang cengeng bahkan meski hanya terjatuh ke tanah karena tersandung batu, sekarang tumbuh menjadi sebaliknya."
Shoto tak menjawab, dan akhirnya kami memutuskan berjalan kembali ke tebing, setelah dirasa telah memetik apel cukup banyak. Di sinilah kami, mengulangi rutinitas sama seperti setahun yang lalu. Duduk berdua, di bawah naungan pohon teduh, bersama awan, ditemani angin. Kami menikmati setiap gigitan apel yang terasa begitu menyegarkan di musim panas tahun ini. Aku seolah masih tak bisa percaya, merasa masih berada dalam kubangan mimpi.
Dia kembali.
Tersadar akan kenyataan, itu sudah bisa membuatku tersenyum sepanjang hari. Esoknya lagi, dan lagi.
"Rasanya tidak berubah. Kau merawatnya dengan baik ya?" Aku mengangguk. Toh, memang aku bekerja di kebun itu sebagai buruh lepas setiap harinya. Wajar saja aku merawat semuanya dengan baik, terutama pohon tadi. "Lumayan manis seperti biasa."
"Lumayan manis--?" Gumamku heran, namun segera saja Todoroki membuatku membeku sebab dia tiba-tiba memajukan tubuh, mempersempit jaraknya denganku. Perlahan, dan ah, perasaan bergejolak ini kembali datang. Aku terdiam, bahkan menghirup napas berasa sulit saat ternyata aroma tubuh Todoroki begitu kuat menguar tercium oleh hidung.
Dia menyentuh pipiku, mengusapnya lembut kemudian kembali memposisikan diri seperti semula. Apa sih yang dia lakukan?!
"Kau itu bukan anak kecil lagi, makan buah kok masih belepotan."
Ujarnya dengan nada datar, normal, seolah tak terjadi apa-apa. Ekspresinya juga. Aku jadi kesal, padahal tadi bisa dipastikan wajahku memerah dan jantungku berasa mau copot, tetapi Todoroki nampak biasa-biasa saja. Aku lantas menyunggingkan senyum.
Modus. Padahal bisa bilang dengan kata-kata kan, gak usah main bertindak juga.
"Shouto, jangan salah. Apel ini apel termanis di antara apel lainnya di kebun itu lho! Berani jamin, karena aku sudah menyicip semuanya. Tarik kata 'lumayan'mu tadi,"
Celetukku, disambut tatapan heran Todoroki. Lelaki itu menghela napas, kemudian matanya beralih memandang awan putih yang bergerak.
"Karena apel ini tidak lebih manis darimu,"
Mataku mengerjap, "Shouto, apa barusan kamu menggumam? Aku tidak dengar."
"Tidak."
Langit yang membiru, burung-burung berterbangan dengan riang, angin yang menyapa lembut, mereka semua seakan menyambut musim panas tahun ini, yang memang lebih cerah dari musim panas sebelum-sebelumnya. Tidak salah, hal itu memang benar. Pasalnya, afeksi yang diberikan musim panas tahun ini seolah masuk ke dalam diriku, melebur begitu dalam sehingga mampu membuatku untuk mengatakan, musim panas ini begitu cerah seperti suasana hatiku kini.[]
-oOo-
"Shouto. Kau tahu, aku pernah suatu hari menceritakanmu pada sahabatku di kelas."
"Tidak penting sekali, untuk apa?"
"Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang selama ini menggangguku."
"Hah?"
"Tentang perasaan bergejolak asing ketika bersamamu. Padahal aku tidak pernah merasakannya saat masih kecil."
"Hn, lalu?"
"Katanya... aku ini menyukaimu."
"Oh."
"Hanya itu saja?! Kau tidak berdebar mendengarnya? Jantungku rasanya mau meloncat saat mengatakan itu tadi loh!"
"Soalnya aku sudah tahu."
"--eh?"
"Orang sinting mana yang mau menunggu seseorang selama bertahun-tahun tanpa kepastian kalau bukan karena perasaan khusus? Mudah sekali menarik kesimpulan darimu."
"Jadi kau mengataiku sinting?"
"Satu lagi, [Name]. Yang membuatku tahu kau menyukaiku. Karena akupun memiliki rasa yang sama."
-oOo-
.
.
.
A/N :
Halo.. akhirnya aku menyelesaikan ini setelah ngaretnya lama parah. Hehehe. Padahal tinggal apdet ini tapi malah kuanggurin beberapa minggu /slap
Maaf kalo mas Shotonya berasa OOC di sini:( kutak tahu lagi, karena menganggap ini kok semakin tijel:"))
Menurut pendapat kalian gimana? Tolong kasih masukan ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Days in Summer | Todoroki Shouto
Fanfiction[Todoroki Shouto x Reader] Lelaki itu datang, mencerahkan musim panas di desa terpencil ini menjadi lebih berwarna, menyejukkan hati yang merana, dan memberi kehangatan tak terduga. Ada sesuatu yang mengganjal, dari kehadiranmu, dan aku yang menghab...