Day 4 | Sepaian Rasa

596 124 0
                                    

"Hei."

Aku terkaget, refleks menoleh belakang mendapati lelaki heterokrom muncul dari jalanan setapak. Sontak, aku mengalihkan pandangan. Todoroki langsung duduk di sampingku, seperti kemarin-kemarin.

"Yang kemarin itu---" Tidak! Kenapa baru muncul langsung membahas itu sih? Samar-samar aku dapat merasakan semburat merah tipis muncul di wajahku. Apa dia marah?

"Todoroki-kun, bahas yang lain aja yuk?" Tawarku padanya sembari tersenyum kikuk. Kumohon, jangan bahas itu lagi. Bisa-bisa aku mati kutu karena malu nanti. Todoroki tak menggubris, dapat kurasakan sorot matanya masih tertuju ke arahku. Baru saja ia tampak akan membuka mulut, aku langsung menyahut. "A-a..no. Maaf untuk yang kemarin, i-itu.. aku pasti membuatmu marah tapi.."

"Siapa yang marah?"

Eh?

"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Berkat kau aku jadi tidak kepikiran lagi. Aku tidak sempat berterima kasih kemarin karena kau langsung lari begitu saja." Jelasnya kemudian menghela napas. Aku tercengang. Terima kasih katanya. Detik berikutnya, senyumku mengembang. Sebelah tanganku terangkat dan ku arahkan ke punggung Todoroki, menggepuknya pelan sambil terkekeh ringan.

"Ahahaha, don't mind! Maaf juga aku langsung lari kemarin. Ahaha, konyol sekali." Aku menertawai diri sendiri, sedikit menghilangkan rasa gugup dan malu. Benar, kemarin aku hanya berniat menenangkannya, entah bagaimana tubuhku tergerak sendiri untuk menenangkan Todoroki dengan sebuah pelukan. Begitu tersadar, aku malah langsung melarikan diri, karena tidak sanggup melihat ekspresinya. Bahkan sampai sekarang pun, aku tak berani menatapnya lama-lama.

Hening. Lagi-lagi kami memilih untuk bergelut dengan pikiran masing-masing. Cukup lama sampai aku memilih mulai bersuara, Todoroki pun menoleh.

"Todoroki-kun, mau ikut bersenang-senang tidak? Kalau begini lama-lama rasanya menjemukan juga." Aku beranjak, merapihkan baju selepas berdudukan di tanah berumput. Todoroki tak menjawab, ia hanya mengikuti langkahku meninggalkan hutan dalam diam.

-oOo-

Pertama, kami menuju kebun milik majikanku. Aku bekerja kepadanya---untuk menyambung hidup---mengurus beberapa bagian di kebun. Aku memetik sebuah apel dari kebun besar yang berisi berbagai macam buah dan sayuran, lalu aku memberikannya pada Todoroki.

"Ini milik orang? Kau tidak mencurinya kan?" Aku menyengir kuda. Dan hanya menjawab 'Tidak'.

"Bagaimana? Manis?"

"Hm."

Tidak. Karena sebenarnya pohon itu meski berada di tanah orang, kita sendiri yang menanam benihnya.  Sebab itu aku jadi mendedikasikan diri bekerja pada kebun ini, memang menyiapkannya untuk tiba saat seperti ini.

"Yosh, ayo ke tempat selanjutnya!"

Kedua, aku mengajak Todoroki ke sawah milik tetangga dekat. Niatnya hanya duduk-duduk di gazebo tengah sawah, menikmati hamparan padi yang menghijau dengan indah.

"Apa itu?"

"Itu orang-orangan sawah, untuk mengusir burung hama. Nah Todoroki-kun, coba sini kau gerakkan itu!"

"Oh!" Dia terkaget begitu menggerakkannya keras, burung-burung kecil muncul dari balik hamparan padi dan berterbangan.

Ekspresi kagetnya lucu. Padahal itu bukan pertama kalinya untukmu, kamu masih terkaget seperti dulu?

"Hahaha."

"Heh, apa yang kau tertawakan?"

Ketiga, aku membawa Todoroki ke sungai yang mengalir melewati desa. Dia tampak terkagum dengan airnya yang begitu jernih, dan juga banyak batu dari besar hingga kecil bertebaran.

"Todoroki-kun, kau mau apa?"

"Sepertinya aku melihat ikan yang menarik perhatianku bersembunyi di balik batu itu."

"Ah, hei, tunggu?!!!"

"Bodoh, kenapa kau ceroboh sekali? Kakimu tergelincir batu, apa masih bisa berjalan?"

"Ya, aku baik-baik sa---"

"Sepertinya tidak. Naiklah ke punggungku."

Setelah sekian lama, aku melihatmu telah berubah. Sikap bahkan bekas luka bakar di matamu itu... aku tidak tahu apa-apa. Tapi aku tahu, tak peduli meski kau berubah menjadi dingin, kau masih sama baiknya seperti dulu.

-oOo-

Siang telah berganti senja, birunya langit cerah sudah berhias semburat jingga. Aku terduduk, menunggu Todoroki yang sedang mengobati lukaku karena tergelincir tadi. Aku terlalu bersemangat, hingga bertingkah ceroboh. Dan berakhir merepotkan Todoroki yang bersikeras menggendongku ke rumahnya. Mengingat itu, wajahku malah berubah seperti langit senja.

Teras rumah besar ini begitu mengagumkan, rasanya aku tidak percaya bisa menginjakkan kaki di rumah sebesar ini. Berbeda sekali dengan rumah kecilku. Awalnya aku menolak Todoroki membawaku ke mari---menolaknya habis-habisan---tapi dia begitu keras kepala. Berdalih kalau rumahnya paling dekat.

"Oh, kau sudah selesai."

"Aku akan mengambilkanmu minum sebentar." Aku mengangguk, kemudian Todoroki menghilang di balik pintu.

"[Full Name]-san."

Napasku tercekat, begitu melihat seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul, membuatku menoleh sekaligus membelalakkan mata. Suaranya ketika memanggilku begitu dingin, tatapannya pun sangat tajam. Aku menelan ludah.

"Apa kau lupa waktu itu?"

Kakek Todoroki. Kenapa dia muncul di saat yang tidak tepat?

"Sepertinya kau sudah lupa, sehingga berani menampakkan wajahmu kembali. Jadi kutekankan lagi---"

"---Menjauhlah dari Shouto. Jangan dekati dia."

Aku tersenyum.

Mana mungkin aku lupa, pada hal yang telah membuatku sekian lama terluka. Aku hanya mengajaknya bernostalgia sedikit, tidak, Todoroki tidak akan pernah ingat, jadi yang tadi itu hanya aku sendiri yang bernostalgia.

"Aku berjanji ini yang terakhir kali." Ucapku lirih, membiarkan sesak dalam dada menyeruak, dan kemudian menyiksa sukma.[]

7 Days in Summer | Todoroki ShoutoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang