1

50 3 1
                                    


Kembali aku terduduk di sudut ruang kelas. Disaat tirai putih tertiup angin dan sinar masuk melalui cela-celanya. Aku memetik gitar asal, membayangkan jika diriku adalah pemain gitar sungguhan. Saat itu memang sepi. Sebagian besar sudah kembali ke rumah, sebagian lagi masih di sekolah, sibuk dengan urusan masing masing.

Jariku yang menekan senar asal berhenti. Dihentikan oleh telapak tangan lain. Kutelusuri arah tangan itu, dan aku menemukanmu.

"Bisa main nggak? Kalo nggak, mending aku mainin, terus kamu dengerin," katanya to the point. Refleks, aku melepas gitar itu dan dia merebutnya. Ia lalu duduk di sebelahku. Sangat dekat, hingga ujung lututnya bersentuhan dengan milikku. Aku memperhatikannya dari atas ke bawah. Rambut panjang khasnya, kacamata hitam di atas kulit wajahnya yang bisa dibilang putih, kemeja putih yang sudah keluar dari celana dengan dasi yang masih terpasang, dan sepatu olahraga warna hitam putih yang ia pakai setiap hari. Mungkin hari ini ia baru selesai OSIS. Atau pembinaan olimpiade matematika?

"Heh. Lihat apa kamu? Mau dengerin lagu apa?" tanyanya membuyarkan pikiranku.

"Ehh.."

"Apa aja. Asal jangan yang aneh-aneh," jarinya memetik salah satu senar gitar itu.

"Terserah deh. Apa aja yang lagi kamu pikirin," jawabku meneyerah untuk berpikir lagu apa yang ingin kudengarkan.

"Dasar cewek. Apa-apa terserah, dikit-dikit terserah. Ya udah. Aku main terserah aku, gak terima protes," gerutunya kesal.

Aku hanya diam. Satu per satu senar itu mulai ia petik, menghasilkan suara-suara yang harmonis ditelingaku. Tangannya yang tampak kuat itu menari-nari dengan sepenuh hati, dengan tatap matanya yang membuatku teduh.


Kau adalah puisi hati

Dikala rindu tak bertepi

Kuingin kau ada saat kumembuka mata

Hingga kumenutupnya kembali


Ah, aku benci untuk mengakuinya. Ia terlalu indah saat ini. Setiap gerak tangan dan jarinya, setiap gerak matanya, setiap kata yang keluar, aku terlalu menyukainya. Apalagi lagu ini.. Bukan satu lagu yang terbesit dalam pikiranku, tapi aku menyukainya.


Kau jawaban dari doaku

Yang akhiri penantianku

Bagai bintang jatuh

Kau hadirkan harapan di dalam hati


Berulang kali aku mencoba menyadarkan diriku untuk tidak tenggelam dalam pikiranku yang sudah melenceng jauh. Tapi aku tidak bisa. Aku bahkan tidak bisa mengalihkan tatap dan menutup mulutku. Aku kaku. Bagai sebuah patung, terpana melihat indahnya manusia satu ini.


Kaulah deburan ombak yang pecahkan batu karangku

Kaulah gugusan bintang yang hiasi malam gelapku

Dikala hati ini gundah

Kau membuatnya menjadi cerah

Kaulah matahariku dan kaulah samudra..


Tempat hatiku bermuara


Hal yang tersisa dariku hanya desiran darah dan degup jantung yang terlampau cepat. Entah kenapa, lagu yang ia mainkan sangat tepat dengan keadaanku ini. Uh, aku benci situasi seperti ini.

"Gimana? Keren, kan?" sombongnya.


Kamu salah kalau tanya ke aku yang suka sama kamu. Mau digimanain juga, kamu tetep keren buat aku.


"Apaan sih. B aja," jawabku mencoba menampilkan wajah datar. Sulit rasanya mengubah ekspresi wajahku yang sudah terpukau.

"Ck. Nyenengin dikit napa," ia lalu berdiri dan memberikan gitar itu padaku. Ia berjalan ke mejanya dan mengambil tas warna hitam di sana. "Kamu nggak pulang? Mau aku antar?"


Dream come true! Abis dinyanyiin terus diajak pulang! Astaga aku mimpi apa semalam?


Aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memerah. Aku menutupkan mata, mencoba untuk sadar dari kejadian yang sangat amat sangat tidak mungkin terjadi untuk seonggok manusia macamku.

"Duh, lupa!" keluhnya sambil menatap layar ponsel yang entah sejak kapan ia pegang. "Sorry, Yas, aku mau jemput Revita. Kapan-kapan aja deh aku anter. Duluan ya!"

Ia langsung berlari keluar kelas. Seketika mood-ku turun. Setelah terbang ke langit ketujuh, aku jatuh ke Palung Mariana. Sudah kuduga hal-hal manis seperti ini tidak terjadi padaku.

Gitar yang sedari tadi kupangku, kusandarkan pada tembok di belakangku. Aku menekuk kedua kakiku dan menumpukan tanganku di sana. Masih terngiang lagu yang ia alunkan tadi. Setiap detik terasa terlalu nyata.

Aku memejamkan mataku. Mencoba mengingat kenyataan yang menentang perasaanku.


Iya, aku mencintainya. Tapi sayang, aku bukanlah tempat hatinya bermuara.


-----


Halo!

Perkenalkan, namaku *****, kamu bisa panggil Kei.

Ini cerita pertamaku, sebelumnya aku sempat buat fanfiction tapi aku mulai lelah:(

Aku juga nggak tahu gimana sih cara nulis cerita yang bagus dan benar. Tapi aku pengen berbagi aja sama kalian.

Tolong bantuannya ya! Kalau mungkin kalian suka boleh kasih vote juga.

Btw  itu tadi lagunya Adera - Muara. Langsung kepoin di Youtube sana:v

Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang