"Ayo, semua duduk! Saya mau ada sedikit pengumuman!" suara Bu Reni terdengar lantang. Seketika ruang kelas langsung sepi, antara taku karena Bu Reni yang terkenal killer atau karena memang ingin memperhatikan. Aku sempat mendengar desas-desus kalau ada murid baru yang akan masuk ke kelasku. Tapi jujur saja, aku tidak peduli. Mungkin aku hanya akan berinteraksi sebanyak tidak lebih dari lima kali dengannya dalam satu semester kedepan. Ya, ini memang sudah semester genap di kelas XI.
"Yas, berani taruhan sama aku?" tiba-tiba Farah berbisik.
"Taruhan apaan?" jawabku sedikit ogah-ogahan. Farah, tetanggaku sejak SD yang baru kukenal saat SMA ini memang sangat berisik dan terlalu bersemangat. Mungkin itu efek karena ia anak tunggal, berbeda denganku yang memiliki kakak laki-laki. Ia juga sangat pandai, seperti Gilang. Aku bisa dengan mudah menanyakan pelajaran padanya karena jarak rumah yang dekat dan ia yang selalu menempel padaku.
"Kalau muridnya cewek, aku bakalan traktir kamu sepuasnya dua hari kedepan. Kalau cowok, kamu harus kenalan sama dia. Sekalian minta nomor. Gimana?"
"What?" aku tidak percaya dengannya. Kenalan? Minta nomor telpon? Big no!
"Udah, jawab aja iya!"
"Far, aku.."
"Mbaknya di sana! Jangan ribut sendiri!" getak Bu Reni padaku karena aku yang terakhir berbicara. Aku kembali menghadap ke depan sambil tersenyum kikuk dan menundukkan kepala. Samar, aku mendengar tawa kejam Farah.
Ya Tuhan, cobaan macam apa ini?
"Ekhm. Jadi hari ini kelas kalian kedatangan murid baru. Ia baru saja pindah dari Jakarta. Untuk selanjutnya, biar dia memperkenalkan diri sendiri. Ayo masuk!"
Semua pandangan langsung mengarah pada pintu depan. Seorang lelaki melangkahkan kakinya, lengkap dengan seragam almamater SMA Harsa, batik warna putih dengan corak biru dan bawahan warna hitam. Tubuhnya tinggi seperti Gilang, hanya saja ia tidak menggunakan kacamata dan rambutnya cepak.
"Perkenalkan. Saya Andika Wibisana, bisa dipanggil Dika. Saya pindah ke SMA Harapan Bangsa karena saya mengikuti orang tua saya yang pindah bekerja di sini," ia memperkenalkan dirinya sambil tersenyum lebar. Siswi-sisiwi yang ada dikelasku langsung ribut karena Dika yang bisa dibilang cogan.
Farah menyenggol bahu sebelah kananku. Aku langsung menoleh dan menatapnya kesal. farah hanya tersenyum penuh kemenangan, seolah berkata 'aku menang'. Aku kembali menghadap depan dan mendapati Dika yang tengah menatapku. Aku bingung, kenapa ia menatapku? Apa aku melakukan hal yang salah?
Ia lalu tersenyum kepadaku dan melangkah menggabil tempat duduk yang kosong di belakang. Tunggu, bukankah hal itu aneh? Seorang murid baru, yang sama sekali tidak kukenal tersenyum padaku? Apa maksudnya?
-----
Bel istirahat pertama menyelamatkanku dari pelajaran sejarah yang hampir saja membuatku terbang ke dunia lain. Aku mengangkat kedua tanganku ke udara sambil meregangkan ototku. Aku merasakan bahu kananku dicolek. Aku menoleh dan mendapati Farah.
"Apa?" tanyaku datar.
"Lebih cepat, lebih baik," Farah sedang menulis sambil tersenyum sendiri.
"Nggak. Nggak butuh," jawabku kembali menghadap depan. Farah menahan dengan menarik bahu kananku. "Apa sih? Aku bilang nggak mau kenalan, ya udah berarti nggak!"
Aku tidak sadar kalau suaraku meninggi. Beberapa siswa yang masih di kelas sontak menoleh padaku yang tidak biasa melakukan hal seperti itu. Aku memandangi mereka, termasuk Dika yang juga melihatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Diam
Teen FictionBagaimana jika kenyataan menentang apa yang kamu rasakan? Hal inilah yang dialami Tyas, ketika ia harus jatuh cinta pada teman masa kecilnya, Gilang. Dan menyatakan perasaan mereka, tidak akan semudah semudah yang dibayangkan. @kei 030618