4

22 2 0
                                    

Aku memilih untuk pulang melewati tangga utama, berbeda dengan tangga yang aku gunakan kemarin. Kenapa? Aku hanya tidak ingin mengingat kejadian itu. Aku masih ingin menjaga perasaanku pada batasnya, karena ia juga temanku. Aku tidak ingin melukainya.

Aku berjalan sendirian di belakang Farah dan Radit yang saling tertawa, entah apa yang mereka bahas. Aku memilih untuk menutup telingaku dengan earphone yang terhubung ke HP-ku. Aku memainkan lagu sesukaku, dan kali ini yang tengah berputar adalah No Air milik Jordin Sparks dan Chris Brown. Lawas, tapi aku menyukainya. Ini lebih baik daripada musik jaman now yang terlalu banyak 'jedup-jedup' atau dangdut. No, cacing di telingaku tidak suka kedua jenis musik ini.

Langkahku terhenti saat sebuah bola basket tepat terhenti di ujung sepatuku. Aku menengok ke kiri, melihat asal datangnya bola itu.

Gilang.

"Oh, yo, Yas!" sapanya sambil melambaikan sebelah tangannya. Ia lalu mengode pada teman-temannya yang ada di lapangan dan mereka pun langsung beristirahat. Tumben sekali aku melihat Gilang bermain basket. Sejak SMA, ia sangat fokus dengan pelajaran hingga jarang bermain bola seperti saat ini. Apalagi sejak kedatangan Revita, si anak ketua komite sekolah.

"Sorry, bolanya kena kamu?" ia mengambil bola itu dan menanyakan keadaanku.

"Nggak, cuma ngglinding aja bolanya," jawabku sambil melepas salah satu earphoneku.

"Eh, Yas. Tadi kamu.."

"Tyas!" belum sempat Gilang selesai berbicara, Dika terdengar memanggilku. Ia melambaikan tangan padaku dan berhenti tepat di depanku.

"Eh, kamu lagi ngobrol ya? Maaf kalau ganggu," ia berbicara sambil melirik Gilang

"Nggak kok, nggak apa-apa, eh?" belum sempat aku membuka mulut, Gilang mulai menyaut. Astaga, aku merasakan aura tidak enak.

"Dika. Kamu?" Dika mengulurkan tangannya pada Gilang. Gilang lalu tersenyum dan menyambut uluran tangan itu.

"Gilang, temen deketnya Tyas," Gilang memperkenalkan dirinya dengan percaya diri.

Teman dekat? Oh, hanya teman dekat.

"Ooh. Salam kenal, ya. Aku baru pindah ke sini," Dika melepaskan jabatan tangan itu dan tersenyum ia lalu kembali menatapku. Ia seperti akan berbicara sesuatu sebelum Gilang menyela.

"Anak pindahan, tapi udah berani gandeng orang yang baru kenal," celetuk Gilang.

Tunggu, Gilang melihat kejadian tadi?

"Wah, kamu lihat ya. Aku bisa jelasin kok, tadi itu ada salah paham. Dan Tyas kayaknya nggak nyaman kalau ngomong di tempat tadi. Daripada kelamaan, jadi aku langsung narik dia aja ke perpus. Udah itu aja, kok," jelas Dika santai, sesuai dengan kenyataan. "Kenapa, kok kamu kelihatan.. nggak suka?"

Aku bisa merasakan Gilang melangkah maju, mendekatiku dari belakang. "Sejujurnya, aku teserah aja sih. Tapi, Tyas itu nggak biasanya begitu. Aku cuma takut dia nggak nyaman dengan perlakuanmu, jadi.."

"Tapi, tadi dia hanya diam saja dan langsung mengikutiku. Berarti, dia tidak apa, kan?" Dika juga ikut selangkah lebih maju, membuatku merasa terjepit di antara dua tiang berjalan ini. Pertemuan perteme mereka, bencana!

"Anu, guys? Kalian masih ingat aku, kan?" untuk beberapa detik mereka masih tidak bergerak. Hingga Dika memutuskan untuk mundur.

"Inget, kok, Yas. Aku tadi cuma mau bilang kalau besok waktu pelajaran biologi, aku boleh pinjam catatan kamu, kan? Tadi bu siapa itu tadi bilang ke aku buat pinjam ke kamu. Boleh, kan?" ia alu kembali sumringah setelah terjadi perseteruan singkat dengan Gilang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang