2

34 2 0
                                    

"Far, nggak pulang?" tanyaku pada Farah yang duduk di belakangku. Semua teman sekelasku sudah pulang. Tinggal aku dan Farah, temang sekaligus tetanggaku, yang masih berkutat dengan tugas fisika yang diberikan guruku. Aku memang sengaja mengerjakannya di sekolah, karena aku sangat tidak paham dengan fisika. Jadi, aku bisa tanya Farah.

"Emm.. Nanti aja deh, Yas. Aku mau ke perpustakaan kota sama si Radit," ia menjawab sambil mengemasi barangnya yang masih berserakkan di atas meja.

"Kencan mulu sama si doi. Belajar, Far. Jangan pacaran mulu," nasihatku pada Farah yang sama sekali tidak digubris. Ia memang tidak suka kalau diceramahi tentang hubungan pribadinya, apalagi dengan pacar kesayangannya itu. "Ya udah, Far. Aku duluan."

Aku keluar dari kelas yang menyusuri lorong kelas XI IPA. Di sekolahku, SMA Harapan Bangsa, atau biasa disingkat Harsa, ada 5 kelas IPA dan 3 kelas IPS. Aku masuk di kelas IPA 2. Sedikit ujung, diapit IPA 1 yang ada di ujung lorong dan IPA 3. Aku turun melewati tangga di ujung lorong yang sepi, dan mendapati Gilang duduk bersandar ditembok dengan kakinya yang panjang menghalangi anak tangga. Ia hanya menunduk, memperhatikan ujung sepatu Converse hitam yang ia kenakan. Dari atas, rambutnya tampak acak-acakan dan bagian tepinya basah dengan keringat, lengkap dengan seragamnya yang juga tak beraturan.

"Lang? Ngapain duduk di sini?" aku mencoba untuk menyapa. Aku masih mengingat kejadian kemarin. Hhh, kenapa aku harus ketemu sama dia lagi sih? Pasti bakal canggung.

Gilang menoleh kepadaku. Ia lalu tersenyum, menunjukkan deretan gigi putihnya. Wajahnya tampak lelah, seperti baru melakukan lari maraton. "Oh, Tyas toh. Mau pulang, Yas?"

"Iya. Kamu nggak apa-apa, Lang?" seketika rasa cemas melahapku ketika melihat wajahnya yang kelelahan. Akan jadi masalah kalau tiba-tiba ia pingsan dan jatuh dari anak tangga itu. Walau aku ikut PMR, tapi aku tidak yakin akan kuat membawanya ke ruang UKS.

"Nggak, Yas. Cuma capek habis ngurusin OSIS terus lanjut ke paskib. Aku terus yang disuruh ngerjain tugas," jelasnya sambil kembali menunduk.

Aku pun turun dan duduk di anak tangga, atas tempat Gilang. Aku ikut meluruskan kakiku, yang terlihat sangat pendek dibandingkan milik Gilang. Aku memandangi ujung sepatu Nike warna hitamku. Aku tidak tahu mengapa aku melakukan hal ini. Mungkin, hanya karena ingin?

"Kamu itu emang kelampau baik, ya, Lang. Semuanya aja mau kamu lakuin, mau kamu kasih. Tapi kamu nggak pernah mikir diri kamu sendiri gimana," ujarku tanpa aku sadari.

"Kenapa emang, Yas? Tumben perhatian," Gilang memandangku yang sedikit tinggi dari posisinya.

Aku hanya diam. Aku merasa lelah kalau Gilang terus-terusan dijadikan tameng. Gilang juga manusia. Dia juga punya masalah atau kepentingan sendiri, jadi orang lain tidak bisa seenaknya sendiri memperlakukan Gilang.

Gilang tiba-tiba menyandarkan kepalanya pada bahuku. Aku terkejut mengapa Gilang melakukan hal ini, apalagi ini di tempat yang terbuka. Aku hanya takut kalau ada yang meliat dan membicarakan yang tidak-tidak tentangku dan Gilang. "Yas, aku nggak apa, kan, kalau nyandar bentar?"

"Eehh..?"

"Santai aja, Yas, Revita udah pulang kok. Kamu, kan, juga teman dari kecilanku dulu," jelas Gilang.

Teman. Ya, satu kata yang membuatku merasa jauh dari Gilang. Ia menganggapku hanya sebagai teman. Aku sadar akan hal itu, tapi tetap saja aku tidak bisa membiarkan perasaanku tumbuh. Rasanya seperti... candu?

"Yas, kamu ingat nggak dulu, waktu aku ditinggal ortu sendirian, aku dititipin ke rumah kamu? Waktu itu aku bener-bener malu, apalagi ada anak cewek. Ya, aku bisa main sama kakak kamu, sih. Tapi tetep aja malu-malu. Itu waktu itu umur berapa sih, kita?" Ia mengingatkanku pada masa-masa dulu. Saat pertama aku mengenalnya.

Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang