Suara alarm dari ponselku membuat kelopak mataku terbuka perlahan. Aku tersadar meski belum sepenuhnya. Kuraba kasur berniat untuk mematikan suara yang cukup membuat indra pendengaranku sakit di pagi hari, namun nyatanya tanganku justru bertubrukan dengan tubuh seseorang yang masih terlelap di sampingku.
Mas Laksa, suamiku.
Alih-alih mencari keberadaan ponsel, aku justru asyik menatap wajah suamiku di pagi hari. Sejujurnya, ini pertama kalinya aku bisa menatap wajah Mas Laksa dalam jarak sangat dekat.
Kumis tipisnya.
Dagunya yang dihiasi bulu-bulu halus.
Bibirnya yang terbuka sedikit saat dia tertidur.
Hidung mancungnya yang tampak kokoh jika dibandingkan hidung mungilku.
Kenapa dia dalam kondisi seperti ini bisa tampak sangat mempesona, sih?
"Bi, bangun dong." Aku berujar pelan sambil memainkan hidung bangirnya.
Dia tampak terusik di balik tidurnya, namun tak juga membuatku berhenti menjailinya. "Bangun dong, udah mau jam lima. Aku kan udah punya imam rumah tangga, aku nggak mau subuhan sendiri. Pahalanya dikit."
Aku tahu Mas Laksa dengar apapun yang keluar dari mulutku barusan. Dia tertawa geli di balik tidurnya yang setengah sadar adalah buktinya. Kutarik dengan paksa selimut yang membungkus tubuh suamiku. Kehangatan selimut di pagi hari adalah sebuah marabahaya.
"Kamu tumben sih, bangunnya lebih cepet dari aku?" tanya Mas Laksa setelah kami selesai melaksanakan dua rakaat wajib di waktu subuh.
Aku yang tengah merapikan alat-alat sholat pun menoleh sebentar, "Aku itu morning person ya, cuma kalau lagi capek aja bangunnya siang."
Mas Laksa mendekat ke arahku. Mencuri kecupan di pipi kananku yang tiba-tiba saja membuatku sedikit gugup. Semenjak menikah, kenapa dia sering membuatku kaget setiap kali dapat ciuman dadakan begini?
"Bukan karena kamu takut disemprot bunda, kan?"
Ini yang membuatku heran. Padahal aku sudah menunjukkan raut wajah paling bahagia, sikap yang senatural mungkin, intonasi ucapan yang normal agar tak kelihatan bahwa aku menjalani hidup di rumah baruku ini dengan penuh rasa hati-hati.
Ya, sudah seminggu aku tinggal bersama mertua tepat setelah pesta pernikahan selesai digelar.
Aku berusaha menjalani peran baruku sebagai istri sekaligus menantu yang baik. Jujur saja, aku bukan tipekal orang pagi. Selepas melaksanakan kewajiban agama di waktu subuh, aku selalu kembali menyapa kasur. Aku akan bangun kira-kira 30 menit sebelum aku memulai rutinitas pagiku untuk bekerja. Tapi aku harus merubah itu di sini. Aku tidak mau Mas Laksa dianggap tidak mendidikku dengan baik hanya karena kebiasaan burukku terus berlanjut.
"Enggak, hubby. Kamu nggak perlu cemas. Seperti yang kamu lihat, bunda sikapnya baik kan ke aku?"
Mas Laksa menyampirkan anak-anak rambutku ke belakang telinga. Tampak dari pandangannya, dia cemas aku tidak nyaman berada satu rumah dengan keluarganya.
"Bener?" tanya Mas Laksa memastikan sekali lagi.
"Iya. Kan berkali-kali aku bilang. Udah ah, sekarang kamu bergegas mandi, bersiap. Terus sarapan. Aku mau bantu bunda di dapur dulu."
Dia mengangguk sembari terus memerhatikanku keluar dari kamar.
-oOo-
Kicauan ibu mertua di pagi hari memang lebih nyaring ketimbang kicauan burung, menurutku. Rutinitasku setiap pagi memanglah membantu beliau memasak, membersihkan rumah, sampai akhirnya aku berangkat kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Old With You
General FictionSequel Kebelet Nikah #2 [Laksa-Lana after married] Ku akui, aku bahagia bisa menikah dengan suamiku. Ada banyak hal seru yang bisa aku lakukan bersama dia. Aku tak pernah menyesal untuk mendedikasikan seluruh hidupku bersama dengannya. Karena dia...