BAGIAN ▪ XVIII

32.5K 2.8K 221
                                    

Suasana kamar kami terasa begitu panas meski pendingin ruangan menyala. Kulihat Mas Laksa mendekat ke arahku dan mendudukkan dirinya tepat di sampingku. Ketika pandangannya tertuju padaku, aku masih berusaha menghindarinya.

“Bilang aku harus gimana?” bisiknya pelan, kali ini dengan nada yang lebih lembut daripada yang semula dia ucapkan. Aku tahu dia sedang berusaha mengalah, tampak jelas dari tatapan matanya yang mulai melunak.

Tanganku kini sudah beralih dalam genggamannya, membuat hatiku digiling dengan berbagai macam perasaan. Sedih, kesal, bingung, semua menjadi satu.

“Aku mau kamu menunjukkan ekspresi bahagia. Aku mau kamu peluk aku, aku mau kamu cium aku saat dengar kabar aku hamil, Bi.” Aku tidak peduli lagi harus menangis di depan Mas Laksa. Aku tidak peduli lagi dia akan membentakku karena aku menangis.

Butyou didn’t. Sampai akhirnya kita saling marah karena aku kesel sama kamu. Kenapa kamu nggak bisa ngerti sih, kalau aku itu maunya kamu nunjukin kalau kamu bahagia!” lanjutku masih dengan lelehan air mata yang tak bisa kuhenti lajunya.

Kukeluarkan apa yang selama ini kupendam sampai menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Aku tidak bisa menahan lagi di depan Mas Laksa. Aku merasa harus mengungkapkannya, agar dia bisa paham dengan apa yang menjadi mauku. Aku pun ingin dia demikian. Aku ingin dia mengungkapkan semua yang menjadi beban pikirannya, agar aku tahu mau dia apa.

Bukan saling menebak, sampai akhirnya salah paham begini.

“Yaudah sini … aku peluk, aku kasih cium juga.” Mas Laksa membuka lebar lengannya, menawariku sebuah pelukan.

Aku menurunkan keegoisanku dan menerima pelukannya. Meski aku berusaha mempertahankan pendapatku, nyatanya aku tetap akan rindu dengan pelukannya. Yang aku butuhkan bukan menang dalam berdebat, aku hanya butuh ini. Aku hanya butuh Mas Laksa yang bisa membuatku kembali menjadi orang yang dicintai.

“Kamu tahu nggak, becoming a parent changes our whole core, secara fisik dan emosional. Aku nggak mau kita tumbuh jadi orang tua yang nggak punya rencana matang, apalagi untuk anak. Kamu pernah mikir realistis nggak, kalau we are not ready enough to be a parent? Kalau aku pribadi, iya. Tapi bukan berarti aku lepas tanggung jawab. Kamu bisa paham kan arti pembicaraan kita kali ini?”

Aku mengangguk pelan.
Mungkin saat itu, bahkan sampai beberapa menit yang lalu, aku masih dikuasai oleh amarah dan keegoisan. Aku bahkan tidak pernah memikirkan apa yang dirasakan oleh Mas Laksa, sementara aku memaksakan dia mengerti betul apa mauku.

“Aku kaget tentu aja pas tahu aku hamil. Aku sama bingungnya, Bi. Aku memang sempat merasa belum siap. Tapi dia hidup di dalam diriku lho, Bi. Berbagi apapun denganku. Bagaimana bisa aku menyatakan diri nggak siap, sementara dia sudah ada di sini?” balasku sambil mengelus perutku yang masih belum membesar.

Suamiku tergerak untuk ikut mengelus perutku. Mendadak tubuhku selimuti oleh getaran-getaran kebahagiaan kala tangan Mas Laksa datang untuk menyapanya.

“Maafin ayah ya, Dek.”

Hatiku bergetar begitu hebat kala mendengar suara Mas Laksa yang seakan tengah mengajak si kecil berbicara. Suaranya begitu rendah dan lembut terdengar, membuatku terbius.

Kuelus kepala Mas Laksa yang masih mencium perutku, “Bi, maafin aku.”

Mas Laksa menghentikan kegiatannya, beralih menatapku. “Sst, bukan kamu doang yang salah, aku juga sama. Aku salah karena belum bisa penuhin apa yang kamu mau. Kita sama-sama salah sebenernya. Bener nggak, coba deh inget, selama ini kita selalu skip membahas tentang anak. Karena kita mikir dua tahun ini akan ada waktu kosong, yang keisi buat ngejar mimpi dan buat pacaran dulu. Jadi orangtua itu berat lho, sayang. Kamu belajar untuk mendidik sekaligus memanusiakan manusia, dan itu anak kita sendiri.”

Grow Old With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang