Prolog

114 25 6
                                    

Seorang gadis cantik berdarah Belanda berlari-lari di tengah belantara hutan. Kaki-kakinya bergerak tanpa henti menimbulkan cipratan dari tanah yang usai diguyur hujan. Tubuhnya bergemetar hebat, bersama kegelisahan yang tergambar jelas dari raut wajahnya. Kedua telinganya disesaki suara-suara mengerikan, sehingga ia tak dapat berhenti menutupnya sambil berlari terengah. Jika bisa, ia ingin menangis, berteriak dan pasrah pada keadaannya saat ini. Namun tidak. Tenggorokannya tercekat, bahkan terlalu menyakitkan untuk sekadar berbisik.

Apa yang sedang terjadi? Apa yang sedang terjadi? Ia terus memutar kata itu di otaknya ketika satu per satu wajah orang-orang yang ia kenal berkelebatan di kepalanya. Meraung, menjerit, dan meminta bantuannya. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada. Sama sekali.

Sesuatu menyangkut gaunnya yang indah, yang terbentang jauh melampaui tinggi badannya membuatnya terjatuh. Matanya terpejam pasrah. Ia terlalu lelah untuk sekadar kembali ke tempat di mana gaunnya tersangkut. Wajah basahnya yang entah disebabkan oleh air hujan atau air mata itu sudah tak mampu melihat dengan jelas. Gemetaran, ia mengambil tangkai daun yang cukup tajam di sebelahnya. Ia berbalik perlahan dan ia robek gaunnya dengan sisa-sisa kekuatan yang masih ada.

Tak ada lagi gaun pengantin yang indah. Bahkan hanya menyisakan warna putih yang teramat sedikit. Kini gaun itu bermandikan warna merah darah pekat yang luntur terbawa hujan, dan warna cokelat kehitamannya tanah Sunda.

Kedua matanya yang telah lelah melirik pada sisi yang berisik di sekitarnya. Sekilas ia melihat bayangan yang melesat seperti sebuah kilat. Jantungnya berdegup kencang. Intuisinya berkata ini adalah sesuatu yang ia kenal. Sesuatu yang memiliki kuasa untuk merenggut napasnya detik ini juga.

Bibirnya terurai lemas. Ia benar-benar sudah tak sanggup berdiri. Ia sudah mencoba untuk bangun menggunakan kedua tangannya yang sudah kotor, namun tulang-tulangnya seperti sudah tak bersisa di sana.

Gadis itu terjatuh, ambruk seketika.

Dengan lemah, wajahnya berpaling pada sepasang kaki yang datang menghampirinya. Di sana, saat itu, ia tahu. Bahwa ini adalah akhir dari kehidupannya. Seketika ia melihat ke atas saat ia merasakan kedua kakinya yang diseret tanpa ampun. Ia menatap langit yang hitam dengan murka.

Tuhan, di mana kau berada? Bantu aku. Aku tak ingin mati. Tidak sekarang, tidak seperti ini. Jiwanya yang sesat tak tahu arah merasakan amarah yang luar biasa. Hanya itu yang bisa ia rasakan ketika seluruh arteri sarafnya mati rasa.

Matanya terpejam—pasrah.



Oke, tell me your first impression! By vote and comments. I promise to reply your comments. Love IM

Secret RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang