Nike (pt. 1)

21 3 8
                                    

"Mungkin ada satu hal yang tidak pernah kamu sadar, terkadang laki-laki rela saling membunuh demi mendapatkan hati seorang wanita, selayaknya memperebutkan sebuah mahkota. Kami kira itu dua hal yang sama. Kami kira pada akhirnya wanita hanya perlu menjadi milik salah seorang. Kami lupa kalau wanita bukanlah barang yang tidak bisa memberontak."

_________

Itu adalah hari pertunangan Sang Putri, dan ia membenci setengah mati.
Betapa tidak, dia bahkan tidak mengenal sang raja yang mengambil tangannya.
Ayahnya yang memilih, ayahnya yang memberikan dia bagai upeti.
Dia merasa jijik, kotor, tetapi siapalah dia di hadapan para raja!
Meskipun dia berteriak dan melawan, apalah arti seorang gadis?

Dia berdiri di tengah aula luas, cantik, seperti permata di tengah gemilap emas.
Para tamu memuji parasnya yang elok, luar biasa beruntungnya sang suami!
Begitu seru mereka.
Tetapi di antara mereka adalah seorang raja muda, yang bermata biru seperti langit,
mungkin belum genap dua puluh delapan umurnya.
Sang ratu dan tamunya, mereka bertatapan. Hari itu waktu pun terasa seperti terhenti.

Pada awalnya semuanya hanyalah permainan belaka.
Surat demi surat, disamarkan seolah permainan politik,
tetapi sungguh, itu hanyalah isi hati dua orang muda yang terpisah lautan.
Aku tidak akan mundur, begitu tulis sang raja muda, bahkan jika seorang harus mati.
Bahkan jika perang harus pecah, bahkan jika nyawa harus melayang.
Bahkan jika dia harus melawan garis takdir.

Hingga suatu ketika dalam kunjungan kerajaan, mereka kembali bertatap muka.
Ketika bulan sudah meninggi, didobraklah segala aturan dan nalar, mungkin demi nurani.
Di atas ranjang sang ratu mereka menjalin asmara,
Di antara rasa pahit dan manis mereka melepas lapar akan yang lain.
Oh, Tuhan! Sang ratu menjerit tanpa suara, haruskah malam ini berlalu begitu saja?
Tidak ada yang menjawab, hanya desah nafas dan rintih di malam sepi.
Di antara mereka.

Hari-hari berlalu. Tidak butuh waktu lama bagi sang ratu untuk menyadari,
di dalam perutnya ada anak yang tidak seharusnya dia bawa.
Maka dikatakanlah bahwa anak itu adalah pewaris takhta yang sah, jika dia seorang putra.
Ingin rasanya dia menerabas semua gerbang-gerbang batu istana dan berlari melawan angin.
Tetapi di atas kepalanya ada mahkota, dan di pundaknya ada tanah kelahiran,
di punggungnya ada kerajaan dan di tangannya ada janji.

Bulan keenam, dan di tengah siang dia mendengar kabar dari tanah kelahirannya.
Ayahnya dan Suaminya, mereka akan melanggar perjanjian damai,
perang akan pecah, dan wilayah selatan lautan akan direbut, akan ada darah yang tumpah.
Lagipula, kini kerajaan besar lagi strategis itu hanya dipimpin raja muda yang naif.
Sang Ratu berusaha mencegah, tetapi siapalah dia di hadapan raja-raja!

Dalam geram dan murka, wanita itu meletakkan mahkotanya yang berlapis rubi.
Ditinggalkannya sepucuk surat, dicurinya seekor kuda dan pegilah dia dari istana.
Ke selatan dia pergi, empat hari lamanya tanpa henti, di balik tudung hitam dia bersembunyi.
Di dalam suratnya dia mengatakan tidak ada putra mahkota.
Dan sebelum dia sampai, kabarnya sudah menyebar ke pelosok negri.

Anaknya bukanlah anak raja yang sah.

Berderap di antara tembok batu, langkah kaki prajurit infanteri.
Sang Ratu memasuki kota, dalam hatinya dia berharap, semoga nyawanya selamat!
Di depan gerbang istana dia menunjukkan wajah dan menyerahkan diri,
Sebagai seorang perempuan, dan sebagai seorang ratu tanpa kerajaan.
Dia hanya berharap pada kebaikan hati kekasihnya, dan mungkin pada garis takdir.

Tetapi hari itu Sang Raja tidak duduk di atas kursi takhtanya.
Maka dia dirantai dan dilempar ke dalam penjara bertembok batu yang dingin.
Berharap pada kebaikan hati penguasa muda yang pernah mengucapkan cinta.
Semoga ketika mereka bertatap muka kembali, bukan penolakan yang dia hadapi!

_____to be continued____

S E W A K T UWhere stories live. Discover now