"ZIAA!!" Panggil seseorang wanita."Eh!"tiba tiba aku di peluk dari belakang. Ternyata dia adalah teman SDku dulu.
"Apa kabar kamu?"
"Very good. And you?!" tanyaku balik. Dulu dia ini terlihat biasa saja. Tapi sekarang ia berubah menjadi langsing dan putih. Di tambah lagi dia terlihat sangat modis, baik dari segi pakaian, aksesoris dan make up yang cetar. Sangat berubah.
"Gooooood!!" jawabnya, duduk di sebelahku. "Eh, sendirian?"
Aku sekarang berada di taman kota menikmati cuaca sore di tepi sungai terpanjang di Indonesia.
"Apa kamu melihat ada orang lain di sebelahku?!"
"Astaga Zia, kamu masih jomblo?!"
Aku memutar bola mata, bosan. Terbiasa dengan yang namanya kejonesan dan akibat yang harus di tanggung.
"Kamu sama siapa?"
"Aku kemari sama pacar aku." ujarnya menunjuk seorang pemuda yang sedang mengantre jajanan.
"Cie, udah punya pacar ..."
"Wajarkan, udah umur dua puluh empat juga." jelasnya, "kamu tuh aneh banget ... masih aja melajang."
"Jodoh itu ... bukan siapa cepat dia yang dapat. Tapi jodoh adalah bila Allah sudah tetapkan, akan pasti dapat." ujarku, ya, walau aku juga merasa galau mengingat beberapa temanku sudah ada yang memiliki keturunan. Hadehh.
"Alasan!" Ia menepuk pahaku, "btw, udah lama banget yah kita gak ketemu?" katanya sambil menatap langit sore di alun-alun kota.
"Ya, sejak lulus SMP kamu pindah rumah. Kita gak pernah kontak-kontak lagi. Aku hampir lupa sama kamu. Kalau kamu gak negur duluan, sudah pasti aku tak kenal."
Plak. Lagi-lagi ia menampar pahaku.
"Aku rindu masa-masa kita dulu ..." ujarnya.
Aku turut menerawang, menatap pemandangan langit. Menggenggam ponselku kuat.
Aku juga merindukan Dirinya ...
.
.
.
.
.
Flashback"Zia ..." aku mencoba berkenalan dengan sorang gadis berjilbab yang duduk sendiri.
Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam bersosialisasi lingkungan baru, sekolah membuat kebijakan, pertukaran kelas. Menurutku sih itu alasan saja. Yang benar ... murid pintar akan masuk kelas A dan yang kurang pintar masuk di bawahnya.
Sementara aku tetap di kelas B. Tentunya aku tidak sendiri masih banyak yang aku kenal. Hanya lima atau delapan murid saja yang di pindahkan kelas di awal tahun pelajaran baru ini.
"Hmm. Salam kenal." ia menjabat uluran tanganku.
"Kosong gak?!" tanyaku, menunjuk kursi disebelahnya.
"Kosong kok, duduk aja."
"Hu'um." Aku pun resmi menjadi teman semejanya. Bukannya aku tak punya teman dekat yang kenal, aku hanya mencari suasana baru.
"Anak mana?" tanyaku.
"Anak Sulastri dan Beno." jawabnya.
Bukan itu yang aku maksud. Aku mengalihkan perhatianku pada coretan-coretan tak berarti di meja.
"Kamu?"
"Hanya anak biasa." jawabku. Tidak mungkin aku menyebutkan mana kedua orangtuaku.
"ZIA!!" panggil seseorang, "Nanti pinjam pulpen yah?!"
"Cuman ada pensil." jawabku pada Zen yang ternyata memilih duduk tepat di belakangku. Aku heran, Zen bukanlah teman sepermainanku.Tapi kenapa ia bersikap santai seolah-olah kita sudah lama kenal.
Mungkinkah mencoba akrab denganku?
Tak jauh dari kami duduk aku bisa melihat seorang gadis, yang sedang curi pandang pada Zen. Bukan rahasia umum lagi jika gadis pemalu itu suka pada Zen. Dari mana kita tau? Tanyakan pada teman sebangku abadinya, yang bermulut ember.
Itulah yang menjadi alasan aku menjaga jarak dari Zen, meski dia berusaha berteman denganku. Aku merasa tidak enak pada gadis pemalu itu atau teman yang lain yang menaksir Zen. Bukan, bukan aku ingin memacarinya. Demi apa kita ini masih kelas Lima eSDe. Meski anak-anak lain sudah begitu familiar dengan yang namanya pacaran. Sampai menggunakan panggilan Ayah-Bunda lagi.
Masalahnya, aku lebih beresiko di tuduh sebangai pelakor. Jadi sebaiknya aku menjauhi Zen yang merupakan idola baru di sekolah. Cinta damai saudaraku.
.
.
.
.
.
"... Dia itu lucu banget. Hitam manis." ujar teman abadiku yang sejak tadi memuji-muji cowok di kelas barunya. Wajahnya memerah, dan senyum-senyum sendiri layaknya orang gila."Kalau jalan lihat depan, hati-hati kecebur got." ujarku.
Sekolah yang berjarak tidak jauh dari tempat tinggal kami membuat kami lebih memilih berjalan kaki. Mungkin sekitar sepuluh menit sudah sampai rumah. Itu pun jika tak ada hambatan di jalan. Seperti, gak ada abang cilok yang kebetulan lewat atau uang jajan yang tersisa banyak untuk ke warnet, nonton Masya And The Beard(?). Jiwa kekanak-kanakkan dijamannya.
"Hoii~"
"Zen? Kamu lewat sini juga?" tanya temanku. Pada Zen yang ternyata mengikuti kami dari belakang.
"Aku sekarang tinggal di Gg. Rubah 8." jawabnya.
"Oh, berarti kita satu jalan. kita tinggal di Gg. Rubah 9."
"Kalian tetanggaan?" tanyanya, padahal kita bertiga pernah sekelas saat kelas 4.
"Iya."
"...." Aku hanya diam, membiarkan mereka berdua.
Aku rasa Dia memang orang yang mudah bergaul.
Tapi kenapa sekarang Dia seperti tidak berminat mengobrol denganku?
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apakah Kau Mencintaiku?
RomanceKisah pertemuan dua insan yang tidak di ketahui akhirnya ... Ini tulisan saya tahun 2018 sempat di publish, lalu draf, hiatus dan di perbaiki lagi. Kisah flashback, orang yang selalu ingat cinta pertama nya, padahal itu kejadian waktu mereka SD. Ora...