CHAPTER 2

54.8K 1.6K 33
                                    

Jangan mengebut, Baby.

Beberapa menit yang lalu pesan dari Dad masuk. Too late! Aku barusan mengemudi di atas kecepatan normal and itu sungguh menyenangkan.

Selamat! Kekhawatiran Dad sudah menjadi kenyataan. I've done dropping myself right on campus. Safe flight, Dad!

Tombol kirim bekerja menghantarkan pesanku padanya sementara aku berlari menuju kelas.

"Mau kemana kau?" Lenganku sudah ditarik oleh seseorang. Mendapati Hannah yang melakukan itu, aku menghembuskan napas kesal.

"Kita terlambat. Ayo ke kelas." Aku berganti menarik lengannya.

"Wow, slow down, darling. Profesor berhalangan hadir. Dengar-dengar salah satu keluarganya meninggal secara mendadak. Jadi ia kembali lagi ke rumahnya, dan..." sahabatku itu memperlihatkan catatan di selembar kertas.

"Kau dan aku, harus menetap di perpustakaan selama seabad untuk mengerjakan tugasnya. Deadline siang ini dikirim ke e-mail Pak Tua itu." Hannah menjelaskan dengan suara mengeluh sungguhan. Jelas ekspektasi perempuan itu adalah free class free tasks.

"Good job, Professor Hans." Berbeda dengan Hannah, aku justru merasa excited untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, tapi tugas dari professor itu bukan alasannya.

"Well, selamat, darling. Akhirnya kita terjebak di tempat favoritmu." Tubuh sahabatku bergerak malas hingga aku harus menariknya seperti kerbau menuju perpustakaan.

Tugas kelompok selalu berujung pada 'satu orang berkerja keras', partner atau anggota yang lain hanya menumpang nama saja. Kami sibuk dengan laptop masing-masing, namun dibalik Mac itu ada senyum sumringah pertanda tidak baik.

"Oh my God, spring break bitches!" Ia menyuarakan dengan lantang. Tak lama teguran dari beberapa orang menghampirinya. Ini perpustakaan, berisik di tempat keramat seperti barusan menjelaskan betapa noraknya seseorang. Hannah bukan norak, dia hanya tidak menyukai perpustakaan.

Mac berputar, layarnya menghadapku. "What? Ini hanya Panama City Beach di Florida." Tidak ada hal penting disana, aku mengerut melihat reaksi Hannah yang meletup gembira.

"Exactly. Spring break, sayang. Aku ingin sekali merayakannya disana. Dan akan kukenalkan kau dengan teman lamaku." Ia gembira bukan main. Tubuhnya dicondongkan ke arahku hingga tubuh bagian atas itu bertumpu pada meja tempat kami menghabiskan beberapa jam terakhir.

"Wait. Aku mencium bau busuk darimu dan—"

"Terlambat! Sudah kupesankan dua tiket penerbangan ke sana dan juga hotel. Your welcome." Ia tutup dengan bangga tindakan semena-mena itu, meninggalkanku setengah menganga dengan tingkah ekstrimnya.

"Aku tahu your Dad sedang menjelajah entah jauh kemana. Dan aku sangat bangga menculik temanku selama papanya pergi."

She has no idea about my Dad. Mereka belum pernah bertegur sapa. Ia hanya mengetahui Dad lewat ceritaku. Aku bahkan tidak pernah membiarkan perempuan itu bermain ke penthouse-ku. Pengalaman terakhir membawa teman mengajariku satu hal: Dad sangat cerewet menanyakan banyak hal soal dunia luarku dan siapa teman-temanku di luar sana serta bagaimana aku bertingkah. Kepalaku rasanya berputar, khawatir soal bagaimana reaksi Dad mengetahui ini.

Ocehan-ocehan Hannah selanjutnya tidak kudengarkan. Aku hanya menangkap sekelebat saja. Tiga hari disana menghabiskan waktu merayakan Spring Break. Pikiranku berputar pada Dad, ia bilang pergi selama seminggu. Jika aku meminta izin di luar kepentingan kuliah, Dad jelas berkata NO. Di satu sisi sahabatku sudah memesan tiket ke Florida, aku bisa apa? Lihat caranya bergembira layaknya anak kecil mendapatkan bingkisan coklat, aku tidak tega.

DADDY IS MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang