Prolog

48 5 0
                                    


Getir terbit terasa didalam lidahku. Perasaan yang sudah ku kenal, yang sudah akrab denganku sejak beberapa minggu ini.

Jemariku yang merasakan tarikan tarikan gravitasi semakin tidak karuan, namun mataku fokus kedepan, seraya kaki kebasku konsisten membuat langkah langkah besar yang bahkan sebelumnya, aku tidak mampu berlari secepat ini.

Ya, mungkin karena adrenalinku dipicu. Mungkin karena dua bajingan tua ini mengejarku dari berpuluh puluh menit yang lalu. Mungkin juga, aku sudah memenangkan kejuaraan marathon, dilihat lihat nafasku pun tidak kunjung lelah.


Namun pikiranku.


Pikiranku yang sudah berubah banyak sekali dalam waktu yang singkat ini...

Pikiranku lah yang membuatku kuat, tidak, bukan karena otakku.

Pikiran, jiwa, raga—semuanya terasa lebih segar, seolah olah aku sudah diberi kapasitas yang jauh lebih luas dibandingkan beberapa hari yang lalu.

Pikiranku mendengar suara suara, suara suara kaki, air, detak jantung sejumlah puluhan orang....

Aku dapat mendengar bisikan pikiran mereka.

Termasuk dua bajingan tadi.

Namun aku terus melangkahkan kaki. Entah kemana, yang penting bisa sembunyi dari mereka. Lorong sempit dan gelap seharusnya membuat mereka susah lewat dengan badan berbobot badak, tetapi mereka tetap ada di jam 6 ku.

Sungguh merepotkan.

Setiap gerakan yang membawaku ke gang baru, setiap pijakan yang menginjak tanah basah dan lembap yang baru selalu saja memperbarui sistem otakku, atau yang kubilang tadi, suara suara lain terdengar.


Suara suara baru.


Suara suara yang berbeda dari sebelumnya, dan aku dapat mendengarnya dengan sangat, sangat jelas.

'Ini gila,' Aku pikir satu malam kacau di bar tidak akan memberiku banyak masalah, tapi lihat sekarang dimana aku berada. Gang kecil dari pecahan beberapa jalan besar, semakin sempit dan semakin tidak jelas kemana aku pergi. 'Yang penting jalan, yang penting kabur. Yang penting mereka gak bisa ngejar.'

Kata kata bodoh itu terus berulang. Aku sendiri yang mengatakannya, karena jujur saja aku pengecut. Melempar batu bara yang berapi, lalu menyembunyikan tangan dengan bara hitam membekas di telapakku. Sungguh hebat dirimu, Yoon Jeonghan. 'Teruslah berlari.'

Tak jauh dari tempatku berlari sekarang, mataku menemukan penyelamatku; tangga darurat yang anak tangganya menjulur meledekku, seakan akan berkata: 'Bodoh. Sini naik!'

Tentu tanpa berfikir panjang, aku bergerak menuju tangga besi itu. Jemariku erat memegang rel, kakiku berpijak di anak tangga pertama. Badanku mengayun saja dari tanah, seperti melompati tangga tangga tua ini dengan mudahnya. Langkah demi langkah, ringan terasa.

Terlalu mudah, sampai aku lupa aku masih punya musuh bersenjata dibelakangku.


DOR.


KLANG!


Berbalik badan, kerutan di kedua buah alisku langsung terbentuk, mulutku terbuka tidak percaya. Mereka menembakku?

"Kalian tau tidak, ini tidak adil?" teriakku dari lantai 2, tapi dengan cepat mereka menyusulku, aku segera berlari keatas lagi. "Kalian bersenjata, saya tidak?"

Sepertinya mereka tidak mendengarku, satu respon pun tidak ada.

Hanya beberapa peluru terbang kembali kearahku, dan beberapa kali pun aku menangkasnya dengan senyuman licik.

"Bagaimana jika kita melupakan semua ini pernah terjadi? Setuju?" aku mencoba merasionalisasikan keadaan, kata kataku pede. Tentu saja kata kata itu kuteriakkan dengan lancang, untuk menutupi ketakutan yang sebenarnya terkubur dalam wajahku. Ya, takut.

Jujur saja, jika aku memang mati malam ini, mungkin memang waktunya.

Mungkin memang saatnya maut menjemputku dengan cara yang sangat menyedihkan ini. Kalah, bangkrut, menyedihkan, dan tidak ada seseorang pun yang mungkin menaruh kasih padaku.

Untuk apa aku takut?

Mungkin karena selama ini aku hanya takut melepaskan diriku. Karena sebenarnya, akulah satu satunya orang yang bergantung pada diri sendiri.

Diri yang selalu sendiri, diri yang berfikir mencuri lebih baik daripada menghasilkan.

Dan saat itulah, suara peluru terdengar jelas ditelinga dan pikiranku.

Badanku terjatuh begitu saja, tanpa berdebat dan bertahan lebih lama, bahkan tanganku tidak sempat berpegangan pada ujung platform besi tangga berkarat itu.

Kepalaku rasanya berat, dan dengan kekuatan yang masih tersisa dalam diriku, aku memberanikan diri melihat lubang kecil yang mereka buat di dadaku.


Kecil, bulat, berlumuran darah.


Dan darah itulah yang mengatakan padaku sendiri,


"Ini waktumu, Yoon Jeonghan. Matilah."

Jeonghan: The Wild Mind.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang