Kunjungan Pagi

49 3 1
                                    


Sial, aku ketiduran.

Aku menoleh kiri, lalu ke kanan. Berat sekali rasanya, seperti leherku di ikat dengan rantai besi. Tidak, aku tidak melebih lebihkannya, ditambah lagi dengan rasa berat yang terasa pada kedua mataku.

Apakah aku tidur terlalu lama? Tapi kapan aku tertidur-?

Dan dimana ini?

Langit langit biru muda yang dihiasi dengan bintang bintang kuning-kehijauan menempel diatas, layaknya berperan bintang yang sesungguhnya. Warna dinding yang maroon muda ini pun tidak ku kenal, tidak sampai aku melihat perabotan menyedihkan di ruangan ini.

Oh, ya, aku mengenalnya. Ini kamar adikku, Jeongyeon.

Tunggu, bagaimana aku bisa disini?

Tanpa berfikir panjang, aku mendorong badanku untuk duduk, tetapi sesuatu mengganjal perutku, sebuah lapisan pembalut luka melingkar di seluruh dada dan perutku.


Apa apaan ini?


Ku jalarkan jemariku ke dada bagian kiri, disitulah sangat terasa sakit yang terasa seperti tikaman sepuluh pisau. Ah tidak, lebih seperti seekor singa yang mengoyak puas dadaku.

"Aish-" keluhku, menyadari darah yang sudah ternoda hingga kering di pembalut itu, segera ku jauhkan tanganku.

"Jangan dipegang terus. Nanti infeksi,"

Kepalaku terangkat dengan sendirinya, menemukan seorang perempuan yang terlihat tidak begitu senang dengan kehadiranku. Ekspresi di wajahnya tetap datar, namun ia mendekatiku. "Jangan banyak bergerak, kau masih dalam masa penyembuhan."

"Hai adik manis," dengan sedikit keberanian yang tersisa, aku menyapanya. Tidak salah lagi, badan kurus yang ideal itu, rambut bob yang berwarna blonde itu selalu memberiku kesan benci terhadapnya.

"Kubilang jangan banyak bergerak, tetaplah disitu," ujarnya ketus, melihat diriku yang mulai menggerakan badan, mencoba keluar dari kasurnya yang menurutku tidak begitu nyaman. Keras, seperti dirinya. Ia selalu seperti ini. Sombong, tidak berperasaan, dingin. Semuanya yang sama sekali bukan diriku.

Aku menggeleng, menunjuk dadaku yang dibalut dengan perban putih tulang itu. Rasanya sakit untuk mengangkat tangan, namun kubiarkan saja. Beban berat yang terasa dikepalaku dan seluruh badanku juga tak kunjung pergi, jadi ku coba untuk mengacuhkannya dan berbicara seperti orang normal.

"Kenapa aku bisa disini?" tanyaku, tanpa basa basi lagi. Jeongyeon menoleh keluar jendela, menundukkannya kepalanya seakan akan lebih mementingkan pemandangan diluar sana. Me-nomorduakan keadaanku, sama seperti dulu.

"Semalam kau hampir mati terkena tembakan peluru dari mafia mafia yang mengejarmu semalem. Kau ingat itu?" Gumamnya, hampir seperti ia tak tampak begitu senang dengan usahanya. "Kau kehabisan darah, jadi ku bawa kesini,"

"Dan bukan ke rumah sakit?" celetuknya. Memang benar, seharusnya ia membawaku ke rumah sakit, ke tangan tangan professional yang jauh lebih handal daripada tangannya. "Ah-" rasa sakit itu menikam lagi. Sepertinya ia menjahit lukaku terlalu dalam, atau entahlah, mungkin perasaanku saja karena tidur terlalu lama.

Jeongyeon mendengus, hampir tertawa.

Aku lihat perbanku, membukanya sedikit dan ternganga kaget. "Sial. Ku kira kau lulusan medis yang handal. Menjahit luka saja tidak benar." Racauku, masih kesakitan.

Dengan senyuman liciknya itu aku menyadari bahwa Jeongyeon menjahitnya dengan jarak yang jarang dengan sangat sengaja, terasa pada sentuhan jariku. Luka jahitan itu kembali menyengat, tetapi tidak menikam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jeonghan: The Wild Mind.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang