BAB 11 :: Digempur dari berbagai sisi

3.3K 347 46
                                    

Lelaki itu menggeliat di ranjangnya. Sebuah kanul nasal seolah tak jua melegakan pernapasannya, masih menyisakan sesak yang teramat sangat beradu pula dengan rasa sakit di area perut. Keduanya bekerja sama memberikan gempuran hebat pada tubuhnya.

Dengan mata terpejam serta tubuh yang sudah banjir keringat, Erland terus mengerang menahan sakit.

Dan entah kenapa, di mata Karina luapan kesakitan ini seperti tak ada apa-apanya dibanding raut kecewa dan putus asa pria itu tadi——setelah selesai dengan urusannya. Padahal ketika berangkat—— meskipun tengah sakit——Erland begitu semangat, bahkan sempat bercanda juga menyanjung sahabat yang akan ditemuinya. Namun, dia justru kembali dengan wajah layu.

"Pa, apa tidak sebaiknya kita kabari saja keluarganya? Kita harus cepat mengambil tindakan bukan?"

Dokter Fabian menggeleng. "Erland mengancam akan melarikan diri dan tidak mau berobat di tempat mana pun setelahnya kalau kita nekat membocorkan hal ini."

Kepala batu, egois, menyebalkan! Bersamaan dengan kalimat itu, air mata Karina luruh. Perasaan aneh yang baru dirasakannya sekarang. Ia seperti turut merasakan kesakitan Erland.

***

"Erland, kamu ke mana sih? Kenapa setiap aku butuh, kamu justru menghilang?"

Renata menutup wajahnya dan mulai menangis. Erland sulit sekali dihubungi. Padahal, dalam kondisi seperti ini ia ingin suaminya mendampingi. Menuruti semua keinginannya. Tapi, apa? Erland tak ada di sampingnya, justru lebih memilih diperbudak pekerjaan. Marah, kesal, kecewa, melebur jadi satu.

Wajar kalau Renata akhirnya mencari orang yang mau selalu ada. Haikal contohnya. Meskipun Haikal tak terikat status apa-apa dengannya, tapi dia mau membantu serta memenuhi kebutuhan Renata dengan tulus. Kurang apa lagi Haikal? Dia bahkan harus rela disakiti Erland, hanya karenanya.

"Ren."

Renata terkesiap karena tiba-tiba ibu mertuanya masuk membawa serta putra pertamanya. Dengan gerakan cepat perempuan itu menyeka air matanya. "Iya, Bunda."

"Loh, kamu menangis? Kenapa?"

Renata menggeleng pada awalnya.

"Hei, kenapa, Sayang? Ayo bilang sama Bunda," tanya Elena lagi sembari membaringkan Reka di atas tempat tidur.

"Aku kangen sama Erland. Dia susah dihubungi."

Elena mengurai senyum tipis. Kalau sedang hamil biasanya memang cenderung lebih sensitif. Ia mengerti betul bagaimana perasaan menantunya. Penuh sayang Elena mendekap Renata, mengusap-usap punggung perempuan itu guna memberi ketenangan. "Aa emang nakal. Kalau udah sibuk kerja pasti lupa sama apa pun. Kamu yang sabar, ya. Nanti biar Bunda coba hubungi lagi."

Renata mengangguk.

***

Tawa mengerikannya menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Menertawakan sisi lemah Erland——musuh mereka.

Rasanya sukar dijelaskan ketika melihat orang yang begitu mereka benci hancur perlahan. Bahagia meledak-ledak dalam dada. Keduanya bukan tak bisa menyingkirkan Erland dengan cepat, tapi melihat pemuda itu tersiksa lebih lama memberi kepuasan lain dalam diri mereka. Apalagi orang-orang terdekat Erland turut dilibatkan, Renata dan Alvin contohnya.

"Gue cuma pengin Erland hancur. Setelah itu, Renata bisa lo miliki sepenuhnya," kata lelaki berpakaian serba hitam itu.

Laki-laki satunya tersenyum licik. "Awalnya gue juga cuma mau memiliki Renata, dan pernah minta baik-baik sama Erland. Tapi, apa yang dia lakukan? Dengan angkuhnya, dia malah nyuruh gue menjauh. Akhirnya keinginan gue yang sederhana itu akan berbuntut petaka buat Erland."

"Nggak akan ada penyesalan untuk kerja sama kita ini. Hasilnya bisa segera kita nikmati."

Lagi Haikal tersenyum. Tadinya ia memilih untuk mengeksekusi Erland seorang diri. Tapi, penawaran pemuda di hadapannya dirasa jauh lebih menarik. Haikal tidak perlu mengotori tangannya, hanya tinggal menunggu hasil. Yang perlu ia lakukan begitu sederhana, mengikuti skenario rancangan laki-laki itu. Maka Erland ... selesai.

***

"Aa di mana sih? Istri kamu nangis terus, katanya kangen, A."

"Aku di Bogor, Bunda. Coba tanya, dia pengin apa? Pas pulang nanti aku beliin."

"Dengar, A. Istri itu nggak melulu butuh materi dan materi. Dia juga butuh kasih sayang dan perhatian dari kamu. Bunda marah, ya, kalau kamu terus bersikap seperti ini. Kamu ingat 'kan, A, kalau kamu menyakiti hati perempuan itu artinya menyakiti Bunda juga."

Elena langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia kesal pada putra sulungnya itu. Hampir mirip dengan Arlan, jika sudah bekerja pasti lupa segalanya. Bahkan untuk sekadar memberi perhatian pada orang di sekelilingnya.

"Bunda kenapa galak banget sih sama Aa? Kenapa harus semarah itu coba, cuma gara-gara Teteh nangis? Kasihan 'kan Aa." Reina yang sudah kesal sejak tadi akhirnya bersuara.

Arlan menangkap kode itu lagi. Jika Erland baik-baik saja, Reina tidak akan bersikap berlebihan seperti itu. Marah hanya karena bundanya mengomel.

"Biar Aa kamu peka, Rei. Nanti setelah menikah, kamu akan mengerti bagaimana kehidupan orang dewasa."

"Sekarang juga aku udah ngerti. Orang dewasa itu rumit, egois, dan nggak pernah memikirkan perasaan orang lain!" Reina langsung meninggalkan ayah juga bundanya. Perasaan cemas dan marah yang beradu membuatnya berani bersikap demikian. Reina sangat takut kalau perginya Erland ke Bogor merupakan tipuan kakaknya seperti waktu itu.

"Anak kamu kenapa sih, Lan? Kok sensitif banget."

"Jangan hanya melihat dari satu sisi aja. Coba pahami situasi saat ini. Erland putra kita, dan seharusnya kamu lebih mengerti dia. Reina pun nggak akan bersikap demikian kalau semuanya baik-baik aja."

Elena tersentak mendengar penuturan suaminya. Benarkah semuanya sedang tidak dalam keadaan baik? Tapi, memangnya apa yang terjadi?

***

Erland : Sayang, aku baru bisa pulang besok. Titip cium buat Reka. Kamu jaga kesehatan, ya. Jaga Erland junior baik-baik.

Pesan itu dikirimnya pada Renata sesaat usai bundanya menelepon. Setelah mendapat balasan, sekalipun hanya kata terserah, Erland menaruh kembali ponselnya di atas nakas.

Serangan tadi benar-benar menguras tenaganya. Ditambah omelan sang bunda karena ia dianggap terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai melupakan Renata. Padahal, kalau bundanya tahu bahwa saat ini Erland sedang sekarat, bisa dipastikan kalau perempuan yang disayanginya itu takkan berani beranjak sedikit pun dari sisinya.

Suasana hening kamar rawatnya membawa Erland kembali mengingat pertemuan dengan Alvin tadi. Haikal sudah berhasil mendapatkan separuh hati Renata, kini pecundang itu juga berhasil memanfaatkan kegamangan Alvin untuk turut menyerangnya. Haikal menang telak atas Erland.

Erland menghela napas panjang. Kenapa ia tidak bisa bahagia? Apa yang salah dengannya?

Dering ponsel kembali mengusiknya. Dengan tangan gemetar, serta sakit yang sama, laki-laki itu berusaha menjangkau ponsel yang tadi ditaruhnya di atas nakas. Rupanya ada satu pesan masuk.

Reina : A, walaupun semua orang di dunia ini berjalan menjauh. Reina, adik kecil Aa ini akan selalu ada buat Aa. Cepat pulang.

Erland merasa terenyuh membaca pesan dari sang adik. "Makasih, Rei," ucapnya lirih. Dalam diam ia membenarkan apa yang dikatakan adiknya. Erland tidak sendiri dan ia belum benar-benar kalah dari Haikal. Suatu hari nanti——jika masih bertahan——Erland pasti akan mengalahkan Haikal. Meskipun ia harus rela digempur dari berbagai sisi.

Bersambung....

***

Tadinya mau update abis buka, tapi gatel pengin publish. Gak pa-pa 'kan? Itung-itung nemenin kalian ngabuburit. Hehe

Without youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang