Andai punya mesin waktu, Stephen Hawking ingin mengunjungi Marilyn Monroe ketika ia sedang pulen-pulennya, menonton Galileo saat ia meneropong surga, dan menyaksikan akhir dunia. Sebagaimana para penulis dan pembuat film sains fiksi, Hawking dan fisikawan lain juga berpikir tentang penjelajahan waktu. Hanya, sudut pandangnya berbeda. Pertanyaan pertama bagi mereka, apakah hukum-hukum alam memungkinkan hal itu?
Di malam hari, ada sebagian lagi diriku yang akan tertinggal gentayangan di angkasa.
-Paulo Coelho
Emeraldio pov
Aneh. Satu kata yang terlintas dalam benakku jika memikirkan tentang kakak keduaku. Namanya Violet Dwirania Dewandara, biasanya dipanggil Vio di rumah. Kakakku yang satu itu selalu saja melewatkan makan malam hanya untuk bertapa di halaman belakang rumah. Lalu sering menyebutkan kata-kata yang tak kumengerti sama sekali. Ya, ia sedang melakukan hobinya. Menatap langit. Memang apa bagusnya sih? Lagian cuman bintang kecil-kecil sama bulan doang. Ah masa bodoh, lagian ia mempunyai kesenangan tersendiri dengan hobinya.
"Kak, mama udah pulang tuh! Pasti bawa makanan enak!",Kataku yang langsung bangkit dari sofa. Kak Vio hanya berdehem sembari memainkan ponselnya. Aku pun memakluminya dan segera pergi menuju meja makan. Disana sudah ada mas Ares yang selalu siap siaga bila mama pulang (tiap mama pulang kerja selalu bawa makanan, makanya dia paling semangat). Oh ya! Mas Ares adalah kakak pertamaku, nama lengkapnya Antares Girindra Dewandara, kakak pertama yang nyebelin banget, udah gitu banyak banget ceweknya. Kak Vio sangat iri dan mengimpi-impikan agar namanya bertukar dengan mas Ares (Katanya sih, Antares itu adalah nama bintang yang super gede). Namun mama selalu menolaknya dan memarahi kak Vio. Wkwkwk.
Dan aku sendiri? Namaku Emeraldio Caesar Dewandara. Biasa dipanggil Dio di sekolah. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Anak bungsu yang selalu kena bully dari kakak-kakakku. Selalu saja seperti itu. Padahal dulu waktu aku kecil aku yang selalu dibela. Lalu panggilanku saat di rumah adalah 'adek'. Ngeselin kan? Padahal aku sudah memohon kepada mereka agar memanggilku dengan namaku, tetapi tetap saja.
"Vio! Nggak makan??" teriak mama, dan kak Vio menolak dan menundanya seperti biasa. Kami bertiga sudah terbiasa makan malam dengan lahap tanpa kak Vio dan papa. Kak Vio selalu menomorsatukan hobinya daripada dirinya sendiri, ia rela menggelar tenda di halaman belakang hanya untuk melihat apa yang membuat matanya berbinar-binar. Biasanya ia akan memulai makan malamnya jika jam menunjukkan 10 malam. Terkadang ia makan bersama kami kalau langit sedang hujan deras. Sedangkan papa sudah meninggal dunia 3 tahun yang lalu karena sakit.
Kami mulai terbiasa hidup mandiri tanpa papa, namun, kami juga merasa tidak enak pada mama karena selama ini ia yang menjadi kepala keluarga dan menafkahi kami. Serasa kami hanya menjadi beban hidupnya. Tapi, mama tak pernah mengeluh atau memarahi kami, ia hanya akan marah bila kami bertiga tidak akur atau bermalas-malasan di rumah. Dan mama bilang, ia sangat menikmati pekerjaannya dan bersyukur mempunyai kami bertiga di dalam hidupnya. Ah mama selalu seperti itu. I love you mom.
Usai kami makan malam, aku berniat untuk mengambilkan sepiring nasi beserta lauk untuk kak Vio. Aku menatap dirinya yang saat itu tengah duduk santai di kursi malas dekat kolam. Kuberi tahu satu hal, kursi itu adalah kursi favoritnya kalau ia menatap langit malam. Nyamuk-nyamuk tak menjadi masalah karena kulitnya selalu dilapisi lotion anti-nyamuk dan juga baju panjang.
"Kenapa kakak gak beli teleskop aja? Daripada ngeliat dari jauh gitu!" ucapku sambil menyodorkan makanan kepada kak Vio. Ia menerimanya lalu tersenyum padaku. Iya ya! Aku baru menyadari, kenapa dari dulu ia tidak beli teleskop saja? Bukannya menjawab pertanyaanku, kak Vio malah langsung melahap makanannya. Aku mendengus lalu pergi meninggalkannya.
"Dek! Sekalian ambilin minum dong! Pedes banget nih sambelnya!" teriaknya sebelum aku masuk kembali ke rumah.
"Ambil ndiri!!!" balasku lalu kabur menuju kamar tercintaku.
(Keesokan harinya)
Violet povSang Raja kembali menjalankan tugasnya selama 12 jam seperti biasa. Dari jam 6 pagi hingga 6 sore. Hmph! Bahkan jam bangunku lebih awal daripada sang raja. Aku kembali menjalankan rutinitasku sebagai seorang pelajar yang membosankan. Bangun di pagi buta hanya untuk melihat sang dewi cinta dan planet merah bertemu. Membicarakan alam semesta itu memang tidak ada habisnya. Aku telah jatuh cinta dengan itu mulai dari aku kelas 4 SD yang saat itu membahas tentang 'Tata Surya'. Ahh hanya dengan melihat itu saja sudah dapat memanjangkan umurku.
"Mama! Bangun! Udah jam 6 ntar telat ih!"
"Dek, bangun dek! Sarapannya udah siap tuh!"
"Mas! Bangun, mas!! Oi!!! OIII!!!!"
Ya, seperti itu hari-hari sibuk ku. Membangunkan orang yang sangat mencintai tidur itu sangat sulit. Apalagi mas Ares. Kalo tidur udah kaya orang mati. Susah banget dibangunin. Mama? Mama gak pernah masak di rumah, yang buat sarapan cuma aku. Bukannya mama gak bisa masak sih, cuman kalo dia yang masak, kita bertiga malah sakit perut dan ujung-ujungnya berakhir di toilet. Mama di rumah cuma numpang tidur,mandi, dan makan doang. Selanjutnya dia kerja,kerja,kerja,dan kerja. Ku akui, dia memang gila kerja. Hampir tak ada waktu untuk bergabung bersama kami di malam hari, ya karena selain aku menekuni hobiku, selepas makan malam, mama langsung tidur. Ah, kembali ke topik.
Setelah semuanya sudah bangun, aku pergi berangkat ke sekolah. Sekolah yang mungkin tak bisa dibilang bagus dan tak juga dibilang buruk. Rata-rata. Kini aku kelas XI, dan setahun lagi akan lulus. Aku sama sekali tidak senang mendengarnya, rasanya, menjadi tambah dewasa itu sangat menyakitkan. Ah tapi, mas Ares yang kelas XII hidupnya tenang-tenang aja. Malahan di sekolah dia adalah murid populer yang diincar adek kelas bahkan teman satu angkatanku juga. Ah.. kehidupan remaja memang kerad.
Jangan lupakan juga si anak bungsu, Dio. Baru masuk kelas X semester kemarin, ku dengar ia dijuluki Einstein. Ah! Itu sangat membuatku kesal! Ia dijuluki itu karena ia selalu mendapat peringkat 1 di angkatannya. Terkadang rasanya sangat menyebalkan jika adikmu selangkah lebih maju dibanding dirimu. Ekhem, kembali ke topik.
Seperti biasa, aku memasuki kelas dan bercengkerama dengan teman sebangku-ku. Namanya Nisa. Dia orang yang sederhana dan kami saling sharing satu sama lain. Tak lama kemudian guru datang. Hm. Ralat, guru killer. Aku lupa kalau jam pertama ini adalah matematika lintas minat. Sial. Satu hal yang paling kubenci adalah si guru killer ini datang dengan sangat cepat. Ia memeluk sebuah laptop beserta charger-nya lalu duduk di kursi guru. Tak lama kemudian budak-budaknya (sebut saja si anak rajin) turut membawakan buku beserta tempat pensilnya dan sebuah proyektor. Cih.
Setelah proyektor disambungkan di laptopnya gukil (guru killer), beliau pun mengabsen satu persatu murid di kelas ini. Dengar, aku tak bilang aku membenci ini, tapi menurutku ini menyenangkan. Ia mengabsen murid dengan sangat teliti, bahkan saking telitinya, Ia harus melihat wajah murid itu. Bahkan, jika kita tidak menjawab 'hadir bu', beliau akan mengulangi nama kita berkali-kali. Hm.. lumayan, 10 menit terbuang sia-sia untuk mapel ini. Hahaha!
Setelah 2 jam mendengarkan ocehannya, akhirnya otakku lega dan ia pun telah keluar kelas. Namun, tugas bejibun yang ia berikan sama sekali tak membuatku lega. :') tak ada yang menarik di sekolah, hanya berjalan begitu saja seperti biasa. Mungkin yang membedakan adalah, tambahan tugas-tugas emesh yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Phorhea
Science FictionDari seluas angkasa raya ini apakah hanya di bumi yang memiliki kehidupan? Itulah sebuah kalimat yang hanya ada didalam pikiran seorang gadis umur 16 tahun ini, Violet Dwirania Dewandara. Malamnya yang panjang hanya dihabiskan untuk mengamati langit...