Embun dalam telapak

19 0 0
                                    

Hanya kepada pagi, nuansa embun masih segar di hadapan hati nan pedih sisa rintihan hujan di pipi semalaman, dengan menyisahkan mata panda garis melintang di bawah.

Menangisi hasil karya Tuhan yang mengecewakan harap dan angan, hanya kepada perih cinta ini terbaitkan sedih.

Apa kabar ebunga mawar?
Masihkah kau mekar di sela-sela pagi yang mendung. Di sisa-sisa hujan semalaman, kau begitu dingin suaraku saja tak kau balas, lirih.

Kaca kamarku bercak embun membiaskan diri di dalam. Sedikit lorong harap yang ku temui pagi ini tersisa. Setidaknya aku masih bisa bangkit sendiri setelah malam hampir saja membunuh nafasku. Sesak karena keputusan sepihak, semua masih berjalan pagi ini. Bersyukurlah diri.

Tak bisa melenguhkan sisa rindu, cukup! Nanti bergantinya hari rindu akan basi sendiri, terbuang sia-sia. Tapi, siapa yang akan menampungnya? Sunyi.

Selendang embun mengayunkan kesegaran dengan sekali tarikan, sedikit menghibur diri dari pahitnya harap ini.

Ku salahkan kau, apa jangan? Egois tak mau disalahkan, buktinya air mata ini atas namamu. Kau pencetus air mata yang seharusnya air mata bahagia, bukan karena ulah kata-kata manismu lalu berganti menjadi kebodohanmu.

Apa ini? Aku tak bisa meneriakkan, ini begitu memekikkan di tenggorokan mau tak mau ku telan meski menyayat pelan-pelan.

Tanganmungil, 19/05/18

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sajak PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang