Part 3

36 1 0
                                    


"jika kematian telah mengetuk pintu kehidupanmu, aku adalah orang pertama yang akan mengutuk dan mengunci rapat-rapat kehidupanmu di dalam kehidupanku agar kematian tidak akan bisa menjemputmu"
-keyla robert-



--**--

seberkas cahaya mentari pagi memaksa untuk masuk dari setiap celah yang terdapat di jendela. Angin dingin yang dengan lembutnya berhembus kencang saat ku buka pintu depan. Kulitku meremang mencoba bertahan dengan udara dingin yang menusuk setiap pori-pori kulit pucatku yang tidak berpelindung.


Aku mendesah tertahan saat mendapati halaman depan rumahku yang saat ini dengan sangat mengkhawatirkan tertutup salju setinggi mata kaki. Cukup mengganggu dan melelahkan. Padahal aku membersihkannya tiap pagi dan sore. Sial. Salju terkutuk.

Aku mengumpat dengan perlahan, saat mengambil sekop, dan sampai saat aku membersihkan salju sialan itu aku terus mengumpat.


"Kukira kau itu gadis yang manis. Tapi ternyata kau tidak semanis namamu.bahkan kau suka sekali mengumpat seperti itu. Ckckck benar-benar bukan gadis yang manis. Sayang sekali"
aku menoleh dengan cepat. Tubuhku seperti lumpuh. Apa-apaan dia itu?

"Sebaiknya hilangkan hobi mengumpatmu itu." ia menyisir rambut blondenya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya ia sembunyikan dibalik kantung celana jins belelnya.
Butuh beberapa saat sebelum aku dapat mencerna perkataannya. Lelaki berambut blonde yang kutemukan tergeletak lemah tak berdaya diteras depan rumahku seminggu yang lalu kini berdiri bersender di pilar kayu teras sederhana milikku. Wajahnya yang biasanya tertidur tanpa ekspresi itu kini menyunggingkan senyum yang sangat menawan. Matanya yang selalu terpejam kini menatapku tajam. Bola matanya yang berwarna biru safir itu sangat indah saat terbias dengan cahaya matahari pagi. Lelaki asing yang telah membuatku terpesona bahkan diasaat ia tidak sadarkan diri kini telah terbangun dari tidur panjangnya. Tubuhnya yang bertelanjang dada itu menampilkan pahatan yang sempurna. Dengan tambahan beberapa pack yang dapat kubayangkan betapa nyamannya jika aku dapat bersandar disana. Ia tampak seperti whisky yang sangat memabukan.

"Hei, berhentilah menatapku seperti itu. Aku menawan bukan?" ia tertawa tertahan. Apa ia dapat membaca fikiranku?

"Apa? Menawan? Aku bahkan tidak dapat melihat sisi mana yang kau fikir menawan" kupalingkan wajahku dengan cepat. Membuang pandanganku kearah sekop salju yang tampak tua dan usang dengan karat jahat yang telah menggerogoti tubuhnya.

"Sudahlah. Aku tau apa yang selalu difikirkan setiap wanita jika melihatku. Kau tidak usah malu. Lagipula aku sudah terbiasa." ia melangkahkan kakinya mendekatiku. Meraih sekop salju yang kugenggam lalu dengan senyumannya yang masih tetap terukir jelas diwajahnya, ia mengelus puncak kepalaku dengan lembut.

"Biar aku saja yang membersihkannya. Ini pekerjaan laki-laki bukan? Masuklah. Disini dingin."
aku mengernyit. Menatap tingkah lakunya dengan pandangan mengejek.

"Lalu? Apa kau sendiri tidak merasakan kedinginan? Kenakan pakaianmu mr.hotpack" sunggutku.

"Mr.hotpack?" sudut bibirnya terangkat. Ia tertawa renyah.

"ehm. Ya. Jangan berpura-pura kuat dan mencoba memamerkan pack mu mr.."

"Nathaniel. Kau boleh memanggilku nat ataupun niel." ia bergerak menjauhiku dan mulai mengeruk salju yang semakin bertambah tinggi.

"Okey, ehm nathaniel jadi kau sudah sepenuhnya well, siuman? Bagaimana tubuhmu?" aku memandang punggung kekarnya dengan intens. Sambil merapatkan sweater ungu cerah yang sangat tidak memberikan kehangatan apapun di tubuhku, aku terus manatapnya yang tetap asik mengeruk salju.

"Jawablah nat. Kau ini ternyata mengesalkan" mataku berputar jengah melihat sikapnya.
Bulir bulir salju kembali turun. Kali ini lebih lebat. Dari awan hitam dan angin dingin yang menusuk sampai tulang rusukku ini adalah salah satu bukti bahwa akan ada badai. Ya badai. Hal yang kubenci.

"Sepertinya akan ada badai. Lebih baik kita masuk" tanpa babibu ia menarik tanganku dengan cepat.

"Tapi.."

"Apa lagi?" ia menghentikan langkahnya lalu membalikan tubuhnya menghadapku.

"Soal tumpukan salju itu? Astaga. Tidak ada gunanya kita membersihkannya saat ini. Salju itu akan terus menumpuk sampai badai terakhir berhenti." ia terus mengoceh tanpa membiarkanku membuka pembicaraan sedikitpun.

"lebih baik kita masuk terlebih dahulu key" tangan kekarnya kembali menarik tanganku untuk mengikutinya masuk kedalam rumah.

Aku menatapnya jengah. Entah apa yang akan terjadi setelah ini..


ImmortalWhere stories live. Discover now