Dee suka menunggu. Dari kecil, Dee memang punya hobi menunggu. Dee suka menunggu ayahnya pulang bekerja, Dee suka menunggu bis kota. Semua tentang menunggu, Dee pasti suka. Dee juga suka menunggu Biru--sahabatnya-- untuk melihatnya sebagai wanita. Dee mencintai Biru, semua orang tahu itu. Yang tidak tahu hanyalah Biru sendiri.
Biru selalu saja larut dalam dunianya. Mata Biru memang hanya menatap satu wanita, Hangkara tepatnya. Jika kalian mengira Hangkara adalah nama laki-laki, kalian salah besar. Faktanya, Hangkara Kanda Maudya adalah sesosok wanita sempurna. Feminim, baik hati, cantik, pintar, terkenal di sekolah maupun di media sosial. Dan yang paling penting dari semua itu adalah, Biru mencintainya.
Hangkara dan Dee adalah kedua wanita yang saling bertolak belakang. Jika Hangkara memilih jalan-jalan ke mall, maka Dee akan lebih memilih bermain sepak bola dengan teman laki-laki kompleknya. Dee tidak suka apapun yang berbau perempuan, meski tahu ia perempuan.
Sama seperti saat ini, Dee bermain sepak bola di lapangan komplek karena ditinggalkan Biru yang sedang kencan dengan Hangkara. Dee tidak bersedih, mungkin ini memang takdir yang harus diterima Dee.
"Rakhan, oper ke Dee!" Seru Dee pada Rakhan.
Rakhan mengoper bolanya ke Dee. Dee yang sudah memikirkan taktik untuk membawa bola ke gawang, langsung menggiring cepat ketika bola sampai padanya. Dee terus-terusan menggiring bola, hingga sampai pada puncaknya, dan...,
"GOLLLL!!!" Pekik Dee dan timnya girang ketika bola masuk ke gawang.
Skor berubah menjadi 3 untuk tim Dee, dan 2 untuk tim lawan.
"Karma, jangan lupa janjimu!" Seru Dee pada Karma-- kapten tim lawan.
Karma hanya bisa memutar kedua bola matanya. Tadi, sebelum mereka bertanding, Karma membuat perjanjian dengan Dee yang berisi, 'Jika tim Dee kalah, maka tim Dee harus membelikan es teh bu Marni untuk tim Karma. Begitu juga sebaliknya.' Dan Dee adalah jenis orang yang tidak mau menyerah untuk apapun. Bahkan demi se-plastik es teh bu Marni yang berharga Rp.2000 itu. Beruntungnya lagi, ketika Dee menyeruput es teh bersama teman-temannya, Biru datang dengan membawa beberapa kantong plastik yang berisi makanan kesukaan Dee.
"Dee!" Panggil Biru yang baru datang dari acara nge-datenya.
"Bi!" Dee memekik kegirangan ketika Biru datang.
"Ayo, pulang!" Suruh Biru kala tahu Dee masih bermain padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam.
Dee menurut. Ia lantas pamit pada teman-temannya.
**
Rumah besar itu tampak sedikit ramai dengan hadirnya Dee di rumah Biru. Berderet-deret fast food yang dibeli Biru tadi sore sudah berjejer-jejer rapi di meja depan sofa. Televisi di depan mereka dinyalakan hanya untuk meramaikan suasana."Gimana tadi, Bi, nge-datenya?!" Tanya Dee antusias. Berbanding terbalik dengan hatinya.
Biru tersenyum lebar, "Ada kemajuan, Dee! Kara kayaknya udah ada ketertarikan sama aku, deh."
Dee tersenyum kecut saat pandangan Biru berpindah ke televisi, "Wah, baik, dong, kalau gitu!"
Sesaat mereka terdiam. Namun, suara pintu yang di ketuk membuyarkan suasana itu. Biru sebagai tuan rumah langsung berjalan ke arah pintu.
"Kara?" Mendengar nama itu disebutkan oleh Biru, Dee spontan mengintip dari balik sofa.
Ternyata benar yang datang adalah Hangkara. Dee coba menerka-nerka dalam hati, sudah sedekat apa jarak diantara mereka?
"Eh, ini Ru, gue mau ngembaliin jaket lo sama mau ambil buku catatan sejarah gue," Ucap Hangkara dengan suara lembutnya.
Lagi-lagi, Dee hanya tersenyum kecut mendengar Hangkara bicara seperti itu. Dee tahu kalau Biru sangat benci dengan pelajaran sejarah. Tapi demi Hangkara, Biru mau melakukannya.
"Oh, makasih, Kar! Masuk gih, sekalian ambil buku sejarah lo di kamar gue," Dapat di dengar oleh Dee nada suara Biru yang sangat kegirangan.
Hangkara mengikuti Biru ke kamarnya. Mengetahui Hangkara diperbolehkan masuk ke dalam kamar Biru, hati Dee retak. Karena yang Dee tahu, selama 16 tahun hidup bersama Biru, Biru tidak pernah membiarkan orang asing selain Dee dan Dru--kakak Dee--masuk ke dalam kamarnya. Kamar Biru adalah tempat steril. Namun, sekarang, orang asing telah masuk dalam dunia Biru.
"Lho, Delusi?" Hangkara menyapa Dee dengan nama panjangnya. Dee tak pernah suka dengan nama Delusi, tapi Hangkara selalu keukeuh memanggilnya begitu.
Dee tersenyum paksa, "Kara!"
Melihat obrolan yang akan panjang jika tidak dihentikan, mata Biru melirik-lirik ke pintu. Ah, Dee tahu artinya. Hal itu menandakan Dee harus pulang. Dee hampir menagis kala itu. Dee merasa, kalau ia telah tersingkiran. Dee bukan lagi prioritas dalam hidup Biru.
"Eh, kak Dru SMS Dee, Bi! Dee suruh pulang, nih! Kalo gitu Dee pulang dulu, ya, Bi, Kara," Pamit Dee. Tentu saja Dee berbohong. Dru tak akan pernah mau menghabiskan pulsanya hanya untuk menyuruh Dee pulang. Menurut Dru, membiarkan Dee bersama dengan Biru sudah cukup untuk membuat Dru tak perlu khawatir lagi.
"Yah, kok pulang?" Wajah kara tertekuk.
Dee nyengir, "Maaf, Kar. Tapi kak Dru nanti marahin Dee," Lagi-lagi Dee berbohong. Dru tidak akan pernah marah pada Dee.
Hangkara hanya mengangguk maklum. Berbeda dengan Biru yang sudah berbinar-binar.
"Bi, Dee bawa pizza-nya pulang, ya! Maacih, Bi!" Dee mengambil sekotak pizza yang belum sempat termakan olehnya dan Biru karena kehadiran Hangkara.
Dee berlari menuju rumahnya yang tepat di depan rumah Biru. Dengan cepat ia membuka lalu menutup pintu rumah dengan cukup keras. Lantas, Dee termangu. Tubuh Dee seperti kehilangan tompangan ketika melihat Birunya seperti itu. Dee terisak. Ia benci tentang semua perasaanya pada Biru. Kalau bisa, Dee tak pernah ingin memiliki perasaan seperti ini. Perasaan yang makin berkembang, makin menyakiti dirinya sendiri. Dee takut kehilangan Biru karena perasaan sialan yang datang tanpa bilang-bilang. Dee takut kalau suatu saat Biru akan mengetahui perasaanya dan merusak semuanya. Semua hal yang telah dialami Dee dan Biru. Semua kebahagiaan yang berlangsung, Dee takut itu akan berhenti.
"Bi, lagi? Sampai kapan, sih, Dee kamu mau menyimpan perasaan itu sendiri?" Suara Dru mengintrupsi pendengaran Dee. Dee terdiam, isakannya tak terdengar lagi. Dru adalah orang yang pertama kali tahu kalau Dee mencintai Biru. Padahal, Dee tak pernah bilang. Namun Dru tetap mengetahuinya. Dru seperti punya hubungan batin tersendiri dengan Dee.
"Sampai perasaan sialan ini hilang, Kendru," Jawab Dee lugas.
"Dee, perasaan seperti itu tidak akan hilang kalau kamu tidak pernah jujur sama Bi, juga perasaanmu sendiri," Sebenarnya, Dru lelah nelihat Dee seperti ini. Sering kali Dru ingin menyadarkan Biru kalau Dee mencintainya. Tapi Biru memang tidak pernah peka. Apalagi, Biru tidak pernah menatap Dee sebagai wanita. Biru hanya menatap Dee sebagai sahabat. Biru percaya pada kemurnian persahabatan tanpa embel-embel rasa saling suka.
"Dee benci perasaan sialan ini, Dru! Dee takut. Dee takut persahabatan yang dibangun dari kita masih kecil hingga sekarang tak akan bertahan hanya karena rasa sialan yang dinamakan cinta!" Dee berteriak pada Dru. Dee sebenarnya benci menyimpan semua rasa ini sendirian.
Dru tahu, kalau Dee sudah berteriak seperti itu padanya, Dee minta sebuah ruang untuk dirinya sendiri. Dengan begitu, tidak ada yang bisa dilakukan Dru selain duduk di sebelah adiknya.
Dru menunggu Dee untuk berhenti menangis.
Cuma itu yang bisa dilakukan Dru untuk membuat Dee merasa aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imaji, Dee
Short StorySELESAI| Dalam hiruk pikuk bandara, untuk terakhir kalinya, lagu Leaving On a Jet Plane mengalir lembut di pendengaran mereka sebagai salam perpisahan yang paling indah.