Dee mengemasi semua barang-barang yang dibutuhkannya untuk hidup di Belanda. Dee akan tinggal selama beberapa tahun disana karena ia telah diterima di salah satu kampus.
"Dee?" Dru mengintip ke dalam kamar Dee.
"Ya?"
"Nggak mau nyelesain masalah dulu?"
Dee spontan melirik Dru. Ia tahu masalah apa yang dimaksud oleh Dru barusan. Terhitung sudah satu tahun Biru dan Dee mengalami perang dingin. Biru benar-benar sudah tidak peduli apapun tentang Dee. Bahkan ketika Dee berusaha untuk mengembalikan semua hal seperti semula.
"Sudah." Jawabnya pada Dru.
Dru hanya mengangguk. Selama satu tahun, Dru cuma bisa terdiam melihat Dee dan Biru. Dru merasa tidak berhak ikut campur akan masalah mereka meski ia adalah sahabat Biru dan kakak Dee. Ia tahu kalau Dee sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya.
"Dru?" Panggil Dee.
Dru menoleh pada Dee dengan mengangkat satu alisnya.
"Titip ini ke Biru. Kasih dia kalau Dee sudah pergi." Dee memberikan kotak kado kepada Dru.
Dru menerimanya, "Kenapa harus dikasih kalau kamu sudah pergi?"
Dee tahu Dru akan menanyakan itu. Lalu ia menghela nafas, bersiap menjelaskan jawabannya yang mungkin tidak bisa diterima oleh Dru, "Dru, kamu tahu gimana hubunganku dengan Biru. Aku harus melakukan ini supaya tidak ada penyesalan diantara kita. Yah, kamu tahu, kan, maksudku?"
Dru menepuk-nepuk kepala Dee, "Kamu sudah cukup dewasa, Delusi."
Dee tersenyum memandang kakaknya. Setelah kakaknya pergi keluar, Dee menangis tanpa suara. Dee tahu ia tidak beranjak dewasa. Ia hanya mencoba bertingkah seperti mereka. Semuanya berubah. Dee menjadi orang asing dalam hidup Biru. Biru selalu bersama Hangkara. Satu sekolah mengetahui kalah mereka sudah terikat dalam status bernama 'pacaran'. Dee terkadang iri melihat Hangkara dan Biru yang tertawa di beranda rumah Biru. Dee merindukan Biru, sangat merindukan Biru.
**
Dru mengetuk pintu rumah Biru. Ia sadar kalau yang dilakukannya adalah salah. Tapi, Dru tak bisa membiarkan Dee menyesal karena tidak bisa melihat wajah Biru untuk terakhir kalinya."Kendru?" Biru keluar dengan mata sayu seperti orang habis tidur.
Dru berdehem sebelun memulai percakapannya, "Dee titip ini." Ia menyodorkan kado yang diberikan Dee padanya tadi.
"Aku lagi nggak ultah Dru," Ucap Biru datar. Biru tidak ingin menerima apapun dari Dee.
"Memang kamu nggak ultah, Bi. Tapi, sekali ini aja, aku mohon terima ini. Berhenti jadi orang egois, Bi," Sanggah Dru.
Biru hanya mendengus. Dru yang tersulut melihatnya, memukul wajah Biru yang terlihat angkuh. Dru tak mengenal Biru yang ini. Biru berubah, "Hanya karena adek gue naruh perasaan ke lo, jangan pernah lo jadi Biru yang berbeda! Apa yang salah dari mencintai sahabat kita sendiri, Bi?! Bukankah Dee punya hak?! Dee juga nggak pernah nuntut-nuntut lo buat balik cinta dia. Jadi jelasin ke gue, apa yang salah?!"
Biru terkesiap. Dalam hati ia mengira-ngira, apa yang salah? Biru berfikir keras, tapi ia tak menemukan jawabnya. Lalu, selama ini ia melakukan apa?
"Nggak ada yang salah, Bi. Yang salah adalah diri lo sendiri."
"Gue gak ngerti maksud lo, Dru." Biru tak tahu lagi harus mengeluarkan apa. Bukankah dalam situasi ini berpura-pura bodoh lebih baik?
"Bi, adek gue cuma mau ditatap sebagai wanita. Lo nggak bisa jawab karena yang gue katakan adalah benar."

KAMU SEDANG MEMBACA
Imaji, Dee
ContoSELESAI| Dalam hiruk pikuk bandara, untuk terakhir kalinya, lagu Leaving On a Jet Plane mengalir lembut di pendengaran mereka sebagai salam perpisahan yang paling indah.