Biru terbangun dari tidurnya yang terasa lama sekali. Pantas saja, jam dinding sudah menunjukkan pukul 09.35. Biru melihat iPod Dee yang tertinggal di meja belajarnya, Dan ia berencana mengembalikannya setelah ia selesai mandi.
Biru beranjak dari tempat tidurnya, mengambil iPod pemberiannya dan Dru pada Dee saat ia berulangtahun ke-12. Biru tersenyum ketika melihat playlist teratas Dee yang berjudul 'Dee, Dru dan Biru'. Pasti isinya lagu Leaving on a Jet Plane. Entah mengapa, ia, Dee dan Dru langsung mencintai lagu itu ketika pertama kali diputar oleh Bunda Dee.
Alasan Biru masih tahan bersahabat bersama Dee meski banyak sekali kegilaan Dee yang tidak masuk akal, seperti Dee selalu menyambung-nyambungkan kejadian apapun hingga menjadi sebab-akibat yang sama sekali tidak bisa dipercaya kebenarannya adalah, karena Dee tidak pernah menyingging soal 'apalah-apalah' yang kalian tahu apalah-apalah itu sehingga tidak perlu lagi bertanya apalah-apalah itu.
Aku kok jadi nggak jelas seperti Dee begini, sih? Biru membatin ketika ia baru saja memikirkan filosofi dari apalah-apalah.
Biru percaya pada persahabatan murni. Apalagi Dee yang tahu segala kebusukan Biru dari orok. Mustahil Dee bisa merasakan apalah-apalah padanya.
Biru mengernyit saat mendengar handphonenya yang tergeletak di lantai dengan menggenaskan, ia segera mengambil handphonenya, "Kara?" Gumam Biru.
Hangkara menghubunginya. Sebelum-sebelum ini, Biru yang selalu menghubungi Hangkara terlebih dahulu. Entah itu untuk bertanya PR atau mengajak jalan.
Biru mencintai Hangkara. Semua orang tahu itu. Yang tidak tahu hanyalah Hangkara sendiri. Seperti itulah nasib cinta Biru. Tapi, beberapa hari ini Biru bersyukur. Intuisinya mengatakan Hangkara sedikit demi sedikit sudah tertarik padanya. Dan intuisi Biru tidak pernah salah.
**
Biru bangun dari tidurnya dengan tergopoh-gopoh. Pasalnya, hari ini ada ulangan kenaikan kelas untuk kelas X dan XI. Omong-omong, Biru dan Dee berada di kelas XI. Dru yang notabenenya lebih tua satu tahun dari mereka sudah melaksanakan UN dua minggu lalu.Biru lekas memasukkan semua alat tulis dan buku yang dibutuhkan dengan cekatan ke dalam tasnya setelah ia berpakaian lengkap. Biru mengernyit saat menemukan kertas lusuh berisi tulisan tangan yang lusuh pula di bawah meja belajarnya. Biru hafal tulisan tangan itu, tulisan tangan Dee. Tanpa pikir panjang, Biru ikut memasukkan kertas itu ke dalam tasnya.
Biru beranjak dari kamarnya setelah mendengar suara Dee yang memanggilnya. Biru terbiasa berangkat dan pulang sekolah bersama Dee.
**
Biru menyiapkan beberapa alat tulis saat ia sampai di bangkunya. Biru mengernyit sebentar ketika melihat kertas lusuh yang tadi ditemukan dalam kamarnya."Tulisan tentang, Bi?" Gumam Biru ketika matanya tertumbuk pada tulisan pertama.
**
Tulisan tentang, Bi!Bi, dari kecil, Dee memang selalu terbiasa hidup bersama, Bi. Terbiasa bermain bersama Bi, tidur bersama Bi, mandipun terkadang juga bersama Bi. Oh, jangan lupakan Dru juga.
Biru terkekeh membaca tulisan Dee. Tidak terasa sudah 16 tahun mereka hidup bersama sebagai sepasang sahabat.
Beranjak dewasa, Dee sadar kalau Bi tidak bisa terus-terusan memprioritaskan Dee. Dee sadar kalau Bi tidak akan selalu ada di sisi Dee. Namun, Bi, ada sebuah perasaan dari diri Dee yang tidak mau Bi kemana-mana. Perasaan yang ingin terus-terusan mengekang dan menahan Bi dalam hidup Dee. Dan Dee tahu tanpa perlu diberitahu kalau perasaan itu adalah perasaan yang salah.
Biru mengernyit kebingungan. Kedua alisnya menekuk hingga hampir bertemu. Biru tidak tahu maksud Dee dalam tulisan ini. Perasaan yang salah? Perasaan apa maksud Dee? Dee ingin minta maaf? Tapi Biru pikir, Dee tak pernah melakukan kesalahan padanya.
Telah timbul rasa baru selain rasa sayang sebagai sahabat dalam diri Dee, Bi. Dee benci dengan perasaan ini. Dee tidak pernah ingin memilikinya.
Jadi selama ini?
Maafkan Dee ya.
Ha? Dee nulis apa, sih?!
Biru tidak lagi bisa tertawa sedikitpun dengan tulisan Dee meski ia menulis banyolan demikian. Biru tidak tahu, Biru tidak mengerti..., bagaimana perasaanya, bagaimana ia bicara. Biru kira selama ini persahabatannya dengan Dee adalah murni. Bahkan Biru percaya pada mitos jika ada dua orang lelaki dan perempuan bersahabat akan ada rasa cinta di dalamnya. Atau memang ia yang terlalu bodoh untuk menyadari semua ini? Sekali lagi, Biru tidak tahu. Biru tidak mengerti, bagaimana perasaannya, bagaimana ia bicara.
Jelek banget tulisannya! Dee nggak suka nulis! Kata Dru, tulisan Dee nggak bisa dibaca dan mirip cakar ayam! Tapi, kan, ayam nggak bisa nulis Dru?!
Biru berjalan cepat keluar. Ia ingin bertemu Dee. Ia ingin meminta sebuah penjelasan dari persahabatan yang selama ini ia jalani. Dee mencintainya. Itu berarti, bukankah persahabatan ini dilandasi dengan ketidakjujuran?
Biru marah. Entah untuk apa, pada siapa atau karena apa. Biru merasa jadi orang paling bodoh di dunia hari ini. Biru kecewa pada Dee. Semua perasaannya berbaur, bercampur-aduk nenjadi satu. Dan Biru benci itu. Biru tidak mengira selama ini, Dee mencintainya.
"Dee!" Biru menemukan Dee yang sedang melakukan sesuatu didepan lokernya.
"Jelasin apa arti semua ini Delusi!" Biru menyodorkan kertas lusuh yang tadi dibacanya.
Dee terbelalak. Namun segera menetralkan ekspresinya. Mungkin saatnya Biru tahu tentang semuanya, pikir Dee. Tapi apa memang harus secepat ini? Tidak, Dee tidak pernah merencanakan ini akan terjadi. Dee belum siap, dan mungkin tidak akan pernah siap.
"Jawab gue, Delusi!" Desis Biru.
Dee terkesiap, tak mengira Biru akan sekasar itu padanya.
"Bi, aku--"
"Jadi selama ini persahabatan yang gue kira murni ternyata cuma spekulasi diri gue sendiri aja?! Gue coba percaya pada mitos jijik itu, Delusi! Atau gue emang cowok tergoblok di dunia?!," Potong Biru dengan wajah memerah.
Dalam hati Biru, ia kaget. Ia bisa sekasar itu dengan Dee. Tapi mungkin ini cara terbaik untuk membuat Dee lupa.
"Bi, tapi, kita--"
"Gue benci lo."
Tiga kata dari Biru barusan, membuat dunia Dee berhenti. Dee terisak. Apa memang harus selesai dengan cara seperti ini? Belum sempat Dee menjelaskan, Biru melengos pergi meninggalkan Dee sendirian di tengah-tengah koridor.
"Bi!" Jerit Dee pada Biru, "Kamu lupa. Kamu lupa kalau aku juga tidak ingin memiliki perasaan sialan ini!"
**
Dee meraup semua alat tulis di atas mejanya seperti orang bodoh. Lalu ia berlari keluar kelas tanpa ingin repot-repot menjelaskan pada teman-temannya apa yang telah ia alami. Dee sudah tak peduli lagi dengan ujian. Sudah tak ada maknanya lagi. Untuk sekarang, Dee hanya ingin pulang.Dee tidak pernah menyangka Biru akan semarah itu padanya. Dalam hati, Dee sibuk menerka-nerka, apa yang salah dari dirinya? Dee juga tidak ingin memiliki perasaan ini.
Meski begitu, sudah tak ada yang bisa dibenahi. Biru bahkan tidak mau melihat wajah Dee sekarang. Tidak ada artinya lagi Dee memohon-mohon padanya. Sekarang, ketakutan Dee terwujud. Ia ditinggalkan Biru, dibenci Biru dan tak di perdulikan oleh Biru.
Semuanya seperti mimpi buruk yang berubah jadi kenyataan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Imaji, Dee
Short StorySELESAI| Dalam hiruk pikuk bandara, untuk terakhir kalinya, lagu Leaving On a Jet Plane mengalir lembut di pendengaran mereka sebagai salam perpisahan yang paling indah.