Setelah selesai membersihkan diri, aku menghempaskan tubuhku ke kasur lalu menatap langit-langit kamar. Memikirkan tentangnya. Mereka ulang kejadian yang telah kulalui hari ini sampai mamaku berteriak dari luar kamar, "(Y/N), kau akan mulai les math hari ini!"
Seketika mataku terbelalak dan langsung loncat dari tempat tidur untuk menemui mama. "Seriously, mom? Today?"
"Ya" kata mama sibuk dengan masakan yang sedang ia buat. Lalu aku mendengar suara derungan motor berhenti di depan rumahku.
"Nah, itu gurumu sudah datang. Cepat bukakan pintu lalu bawa ia ke kamarmu," perintah mama. Aku mengerutkan kening.
"Kamarku?"
"Ya, kamarmu. Agar tidak mengganggu belajarmu. Cepat bukakan pintunya!" Aku menghela napas pasrah lalu berjalan menuju pintu depan dan membukanya.
"Mr. Stan?"
"(Y/N)?" ucap kami bersamaan sesaat setelah pintu terbuka.
"Mr, ada apa ke sini?"
"Mau ngajar les math." Aku kaget. Kakiku lemas dan napasku tertahan beberapa detik. Datanglah mama dari arah dapur menghampiriku.
"Hai Seb, bagaimana kabar ibumu?" Tanya mama membuatku bingung.
"Ibu baik kok, Kak" jawab Mr. Stan membuatku semakin bingung.
"Oh iya, (Y/N), ini guru les kamu. Dia anak bungsu dari sahabat nenek dan dia sahabat om kamu." Mataku terbelalak mengetahui itu sedangkan Mr. Stan tersenyum ke arahku.
"Namanya--"
"Sebastian Stan. I knew it. Dia yang menggantikan Ms. Luna," ucapku memotong perkataan mama. Mama agak sedikit kaget tapi segera dihilangkannya.
"Bagus jika kalian sudah saling mengenal. Silahkan masuk, Seb. Kalian bisa mulai belajar," ujar mama lalu menggiring kami ke kamarku. Setelah kami berdua masuk, mama menutup pintu sambil mengerling ke arahku. Aku memutar mata.
"Silahkan duduk Mr. Stan," ucapku.
"Tidak usah seformal itu. Panggil saja Sebastian, hanya untuk di luar sekolah," ujar Sebastian tersenyum. Jika aku sebuah lilin pasti aku sudah tak berbentuk lagi saat melihat senyumnya. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Selama belajar aku merasa gugup walaupun Sebastian terus berusaha membuatku nyaman. Ia menghentikan kegiatannya lalu menatapku.
"Hei tidak perlu segugup itu. Anggap saja aku temanmu."
"Akan kucoba," ucapku menarik napas.
*****
Seminggu berlalu. Sore ini Sebastian datang diantar oleh ibunya. Tadi pagi ia tidak mengajar, demam katanya. Kebetulan Nenek sedang berkunjung. Selama aku 'belajar', Mama, Nenek serta ibu Sebastian terlibat percakapan seru.
Well, sebenarnya aku tidak benar-benar belajar. Aku hanya menyuruh Sebastian tiduran di atas kasurku karena suhu tubuhnya yang masih sedikit panas. Sedangkan aku hanya duduk di sofa sambil memainkan hp.
Sebastian memanggilku sambil menepuk sisi ranjang yang kosong. Aku menolak dengan halus tetapi ia terus memaksaku. Menghela napas, aku bangkit lalu berbaring di sebelahnya.
Ia berbaring menghadapku dengan senyum manisnya. Aku menutupi wajahku yang sudah semerah tomat dengan bantal.
"Don't staring at me like that."
"Kenapa emang?" tanya Sebastian jahil.
"Oh c'mon, Seb. Kalau kau ingin membuat wajahku menjadi semerah tomat, kau berhasil." Sebastian terkekeh.
"Seberapa ngefansnya kamu sama aku?"
"Tidak begitu fanatik. Aku masih bisa mengontrol diriku. Hanya kagum dengan caramu berakting."
"Hanya itu? Hanya karena aktingku?" tanya Seb.
"Emang ada yang lain?" Aku mengkerutkan dahi.
"Karena kegantenganku misalnya." Aku langsung menunjukkan ekspresi ingin muntah.
"Dasar kepedean tingkat dewa," ucapku lalu memukulnya sekali dengan bantal. Kami tertawa bersama.
Tanpa disangka ia memelukku. Menaruh dagunya pada pundakku. Lalu berbisik, "terimakasih. Sekarang kutahu rasanya punya adik perempuan."
Kau tidak akan pernah tahu seberapa cepat jantungku berdetak. Jujur, hatiku sakit. Setidaknya menjadi adiknya lebih baik daripada tidak sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart Is Yours (Short Story)
Fiksi PenggemarYou are: ●My idol ●My love ●My life ●My everything Tak ada yang tidak mungkin terlebih saat sudah mengaitkan cinta. (SebStan short story)