01: Malam Tanpa Teduh

115 5 0
                                    

🎵Monita Tahalea - Perahu

***
Biarkan ramai bergemuruh.
Sesaat kemudian dia akan jauh.
Terganti malam yang datang tanpa teduh.

—Temaram, Chapter 01

***

Apa yang terlintas dipikiran kalian ketika mendengar kata hidup? Beberapa dari kalian mungkin memaknainya sebagai kebahagiaan dan anugerah. Dan memang benar nyatanya, hidup adalah tentang bahagia dan bagaimana kita mendapatkannya. Ada yang sudah memilikinya, ada juga yang masih mencari dimana bahagia mereka. Bahkan sekedar mencari tahu apa itu kebahagiaan.

Naila Renjana adalah salah satu dari mereka. Mereka yang pernah bahagia lalu seketika perasaan itu hilang begitu saja. Ia sudah lupa bagaimana rasanya hidup tanpa kepiluan, kesenduan, dan kepatah-hatian. Rasa sakit itu masih tetap ada seakan enggan untuk beranjak dan membiarkannya lepas dari belenggu. Tetapi walau bagaimanapun, ia harus tetap melanjutkan hidupnya. Dengan rasa sakit dalam dirinya, perempuan itu meyakinkan pada diri sendiri untuk tidak putus asa. Ia masih harus mewujudkan mimpi dan cita-citanya.

"BANGSAT!" Naila menarik rambutnya sendiri dengan kasar. Di depannya terdapat tumpukan buku pelajaran yang akan diuji besok di sekolah. Frustasi karena tidak satupun rumus penghitungan matematika yang masuk ke dalam otaknya.

Perempuan itu beranjak dari kursi belajarnya, kemudian mengeraskan volume musik yang sedang ia putar. Lagu Demons dari Imagine Dragon itu ia biarkan bergema dan memenuhi ruang tidurnya. Ia melirik ke arah jam di dinding yang detaknya tidak lagi terdengar. Pukul satu.

Sesaat kemudian ia mendekat ke jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka lebar. Angin malam berhembus dan masuk menusuk tubuhnya. Ia memandang langit malam dan berharap ada yang menemaninya dari atas sana. Tapi sayang, bintang tidak muncul malam ini. Ia sendiri lagi.

Dalam hati kecilnya, Naila selalu berharap ada yang mau menemaninya. Hanya satu doa yang ia ucapkan, doa yang tak pernah lupa ia bisikan pada angin malam. Naila memohon kepada Tuhan, agar ketika ia bangun esok hari, ada sosok yang hadir untuknya, menemaninya, merengkuhnya, sosok yang mau berbagi dengannya. Orang yang bisa ia ajak bertukar pikiran dan menceritakan tentang dunianya yang belum pernah ia bagi sebelumnya— karena selama ini, tak ada siapapun selain dirinya sendiri.

Lalu pandangannya kabur dan ada rasa hangat di matanya.

***

"Nai, gimana persiapan buat lomba debat?" Tanya Loli ketika berpapasan dengan Naila yang hendak membeli makanan di kantin.

"Aman, aman," Naila menjawab pertanyaan itu dengan senyum penuh. "Pokoknya nanti kita balik bawa piala, ya."

Dua perempuan itu tertawa kecil. Loli menimpali, "Amin. Gue percaya sama lo, Nai."

"Siap," Naila mengacungkan jempolnya. "Semangat ya!"

Beginilah Naila yang kalian temui di sekolah. Naila yang ramah dan ceria. Naila yang selalu bersikap baik kepada siapapun. Berbanding terbalik dengan Naila ketika ia sendiri dan tak ada siapa-siapa, yang rapuh dan tempramen. Tidak ada yang tau dan bahkan mungkin orang-orang akan terkejut ketika mengetahui sifat ia yang sebenarnya. Perempuan itu memang pintar menyembunyikan.

Dan ngomong-ngomong soal debat, sekolahnya, SMA Verstand memang akan mengikuti lomba debat bahasa Inggris pekan depan, dan Naila termasuk orang yang mengambil bagian dalam lomba tersebut.

Ia membeli satu es teh manis dan sebuah roti coklat di kantin. Menyegarkan pikirannya yang ngebul akibat ulangan matematika yang baru saja berlangsung. Setelah itu, Naila berjalan lagi menuju ke kelasnya.

Belum sampai di kelas, Naila sudah dipanggil oleh wali kelasnya yang tak sengaja bertemu. Bu Anik—begitu murid-murid menyebutnya adalah wali kelas XI IPS 4.

"Ada apa ya, Bu?" Tanya Naila begitu ia duduk di hadapan wali kelasnya itu. Ruang guru ini terasa dingin dan beruntungnya tidak begitu ramai karena para guru sedang menikmati makan siang mereka.

"Begini, Naila," Bu Anik membenarkan posisi duduknya. kemudian ia mengeluarkan beberapa kertas yang berisi angka. Angka-angka tersebut adalah laporan nilai milik Naila selama semester dua ini. "Nilai kamu akhir-akhir ini menurun. Kamu sadar nggak?"

Naila menggeleng pelan.

"Makannya saya panggil kamu kesini. Saya tau kamu lagi sibuk ngurusin lomba, Nai. Tapi bukan berarti kamu melupakan pelajaran di kelas. Apalagi bulan depan kan sudah penilaian akhir tahun," ucap Bu Anik. "Pelajaran lain kamu masih unggul, tapi matematika kamu anjlok."

Mata perempuan itu memerhatikan laporan statistik yang ada dikertas. Dan memang benar, nilainya kini menurun pada mata pelajaran matematika. Yang awalnya 86 lama-lama menurun sampai menjadi 75. Ia mendengus pasrah. Walaupun ia terus berusaha mencintai pelajaran tersebut, tetapi ternyata matematika tidak mencintainya balik.

Masalahnya matematika adalah mata pelajaran inti dan akan masuk dalam ujian nasional. Naila tidak mau, hanya karena nilai yang kurang dimata pelajaran itu, ia jadi gagal untuk lolos SNMPTN.

"Terus saya harus gimana, Bu?"

Bu Anik menatap mata perempuan itu. "Ibu ingin kamu melakukan tutor sebaya."

Tutor sebaya berarti ia harus diajar oleh teman yang sebaya dengannya, entah teman sekelas, atau teman seangkatan dari kelas lain. Dan itu artinya, Naila harus berinteraksi dengan orang tersebut.

"Ibu sudah bilang sama Askar, tadi sebelum kamu saya panggil kesini. Saya minta dia untuk jadi tutor matematika kamu," lanjut bu Anik yang mampu membuat Naila terdiam. "Begitupun sebaliknya."

Laskar Tirtagara? Naila tertegun sejenak. Askar memang salah satu murid yang pintar dalam mata pelajaran eksakta dibandingkan dengan anak-anak IPS lain di kelas mereka. Tetapi meskipun sudah hampir satu tahun sekelas, Naila sama sekali tidak dekat dengan cowok itu—juga dengan teman-teman yang lain.

Obrolannya dengan teman di kelas maupun di sekolah hanya seputar pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan sekolah. Naila tidak mempunyai teman dekat. Dan ia khawatir apakah ia bisa melakukan tutor sebaya dengan seorang Askar.

"Maksudnya?"

"Naila, kamu sangat baik dalam pelajaran Bahasa Inggris. Nilai kamu hampir sempurna. Tapi tidak dalam matematika. Nilai Askar sangat bagus dalam matematika, tapi tidak dengan Bahasa Inggris," Bu Anik menjelaskan. "Jadi saya mau kalian saling membimbing."

Naila tidak menjawab perkataan Bu Anik sedikitpun. Ia masih memandang kertas dihadapannya dengan tatapan kosong. Lalu, ia menganggukan kepalanya pertanda setuju dengan ucapan Bu Anik. Mau tidak mau, suka tidak suka.

***

"Lo udah ketemu Bu Anik?"

Naila dikejutkan dengan suara itu ketika ia baru saja masuk ke dalam kelas. Askar. Cowok itu langsung bertanya pada Naila begitu melihat kehadirannya. Naila berjalan ke arah kursinya lalu duduk, dan askar membuntutinya di belakang.

"Udah," jawab Naila sambil menatap mata Askar dengan tersenyum. Cewek itu suka sekali tersenyum ketika berbicara dengan orang lain.

Tanpa disangka, Askar mengulurkan tangannya. Naila kebingungan. "Sebagai simbol atas mulainya kerjasama kita."

Naila mengangkat alisnya kemudian kemudian tersenyum canggung. Ia membalas uluran tangan Askar sambil terkekeh. Begitu juga dengan Askar, ia terkekeh pelan dengan mulutnya yang daritadi sibuk menggigiti batang permen milkita yang sudah habis.

Dalam benaknya, lagi lagi Naila bertanya. Apa mungkin ini cara Tuhan membalas doa yang tiap malam ia ucapkan?

***

Hello, I'm back👋👋
Di cerita baru ini, akan lebih serius dan full of drama so if this is not your cup of tea, you can leave ASAP😊😆
This story isn't about a bad boy who falling love with a nerdy girl.

Kalau kalian suka dengan bab satu ini, jangan lupa untuk vote and comment💞 ga mau juga gapapa :')

TEMARAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang