03: Langit Tak Selalu Biru

67 4 0
                                    

🎵Banda Neira - Hujan Di Mimpi

***
Langit itu tak selalu biru.
Namun percayalah masih ada hari esok yang menunggu.
Dan kau, benarkah dikirim Tuhan untuk menjadi teman saat pilu?
—Temaram, chapter 03

***

Pernah merasa hidup kadang tak adil?

Sekiranya begitulah yang selalu Naila rasakan ditiap hembusan nafas dalam hidupnya. Perempuan itu memang perlu diajari bagaimana mengucap syukur. Namun, bagaimana jika ia selalu merasa tak perlu ada yang disyukuri atas hidupnya sampai saat ini?

Dan lagi-lagi, hari ini ia belum juga terlelap hingga tengah malam. Hal seperti itu sudah menjadi kebiasaannya sejak lama. Bahkan tak jarang ia tidak tidur sampai matahari terbit. Yang Naila tau, rasa cemas selalu menghantuinya setiap malam dan itu sangat membuat ia resah sehingga kesulitan untuk tidur.

Malam ini, contohnya. Ia lebih memilih untuk belajar dibandingkan beristirahat dan memejamkan matanya. Angin malam dan air hujan sudah menjadi satu diluar sana, ditambah dengan kilatan petir yang menyambar kencang. Namun Naila membiarkan jendela dan tirai kamarnya terbuka. Ia suka melihat petir dan mendengar gemuruh. Karena baginya, suara gemuruh adalah bagian—sebuah representasi atas dirinya yang tak mampu ia tunjukan kepada orang lain.

Naila berkali-kali membolak-balikan buku catatan di tangannya. Ia membaca dan memperdalam materi yang akan dibawa ketika lomba debat Bahasa Inggris beberapa hari lagi. Perempuan itu melatih public speaking dan intonasi suaranya yang beradu dengan suara petir di langit sana. Dia berusaha keras untuk memberikan yang terbaik dalam perlomban itu.

"What's that?" Naila spontan bermonolog seraya menajamkan pendengarannya. Bukan tanpa sebab, ia mendengar ada suara seseorang memasuki rumahnya itu. Naila mendengar ada langkah kaki yang menapaki lantai ruang tengah. ia tidak merasa panik atau takut sama sekali.

Dari pintu kamar, Naila mengintip ke arah ruang tengah rumahnya. Kebetulan rumah gadis itu hanya memiliki satu lantai jadi begitu Naila membuka pintu kamar, sudah terlihat jelas penampakan ruang tengahnya itu.

Matanya mengitip dari sela pintu kamar yang sengaja ia buka sedikit. Pandangannya menangkap seorang wanita yang baru saja datang dengan membawa banyak kantung belanja ditangannya. Dia adalah Prima, ibu kandung Naila.

Melihat ibunya datang, Naila berjalan keluar. Langkahnya gontai dan ia sama sekali tidak menatap wanita dihadapannya—terkesan acuh. Ia membuka kulkas dan menuang segelas air mineral dingin, lalu meneguknya sampai habis. Ketika selesai, tubuhnya ia sandarkan pada meja dapur selagi tangannya masih memegang gelas yang kosong. Perempuan itu menoleh ke arah ibunya sekilas lalu mengalihkannya ke arah lain. Sementara ibunya masih sibuk mengurusi kantung belanjaan di atas meja dapur itu.

"Kiarain udah lupa sama rumah," Kata Naila tiba-tiba yang berhasil membuat Prima menghentikan aktivitasnya.

Prima bergeming sejenak lalu mendekatkan dirinya ke tubuh Naila, wanita berumur tiga puluh sembilan tahun itu melipat kedua tangan di dadanya. Prima menjawab perkataan Naila dengan nada ketus, "Maksud kamu apa ngomong gitu?!"

"Aku kira Mama lupa kalo aku masih hidup."

Mendengar balasan yang keluar dari mulut anaknya, tentu saja membuat Prima tidak senang. Ia lantas menarik rambut Naila dengan kasar. Naila meringis kesakitan atas tindakan ibunya.

"Berani kamu ngomong gitu ya!" Pekik Prima. Sepersekian detik kemudian, ia melepas tarikannya dari rambut anak gadis semata wayangnya itu.

Naila terisak sambil memegangi kepala bagian belakangnya. Bola matanya beradu dengan milik ibunya selama beberapa detik dan menampilkan raut kebencian, sebelum ia berlari kecil memasuki kamarnya.

TEMARAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang