Prolog

19 1 0
                                    

Angin malam bertiup lirih, menerbangkan dedaunan kering. Musim gugur, bulan kedua, malam cukup dingin dengan langit cerah. Malam ini bulan tersenyum terang. Begitu pula dengan pengemudi sebuah mobil porsche hitam yang sedang melaju santai di jalanan lalu berbelok ke salah satu kawasan elit kota ini. Ia bersenandung riang, membayangkan apa yang sudah menantinya di dalam bangunan bertingkat tiga yang berpekarangan luas. Tembok setinggi dua setengah meter menjadikan rumah mewah itu layaknya benteng pribadi.

Sesampainya di tempat yang dituju, pengemudi porsche memarkirkan kendaraannya di luar tembok tinggi tersebut. Ia masih bersenandung kala tangannya meraih sesuatu di jok belakang. Lalu ia mengambil masker hitam di dashboard mobil dan mengenakannya dengan cepat. Keluar mobil, ia menghentikan senandungnya, sosok tingginya memeriksa sekeliling yang temaram, pun sepi. Orang-orang sepertinya sedang nyaman beristirahat di rumah setelah seharian memeriksa berkas yang dapat menghasilkan uang. Benar-benar tipikal kawasan elit.

Usai memastikan, sosok jangkung ini segera memanjat tembok dua setengah meter itu tanpa kesulitan berarti. Sampai di puncak, ia melompat turun ke halaman berumput, yang banyak ditumbuhi semak mawar terawat. Sisa air siraman pada kelopak mawar memantulkan cahaya bulan, menciptakan kristal-kristal cahaya yang indah. Di ujung lain terlihat sebuah bangunan kecil satu ruang, yakni pos penjaga yang kosong.

"Mungkin penjaganya sedang ke toilet, atau yang lebih berbahaya: berpatroli".

Setengah membungkuk, sosok ini berlari menyebrangi halaman. Langkahnya begitu ringan. Sampai di sebelah bangunan berlantai tiga itu, ia mendongakkan kepala, salah satu jendela lantai tiga masih terang, menandakan masih adanya penghuni rumah yang terjaga. Tepat di sebelah jendela terdapat pohon maple besar, dahannya kokoh, lebih dari cukup untuk dipijaki. Selihai profesional, ia memanjat pohon maple, menelisik di antara tarian dedaunan coklat. Sampai di cabang yang mengarah langsung pada jendela ia menghentikan langkah lalu duduk mengamati seisi ruangan. Ada seorang pria yang sedang menelepon di dalam, hanya terlihat puncak kepalanya di balik kursi kerja kulit yang bersandaran tinggi. Sesekali terdengar bahak tawa. Sosok di atas dahan perlahan menggeser tubuhnya hati-hati, menuju ujung, berusaha sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara. Perlahan membuka jendela yang setengah terbuka, tanpa derit. Ia memasuki ruangan tanpa disadari pemilik ruang yang masih asyik dengan lawan bicara di seberang.

"Ah sudahlah, tak perlu anda khawatirkan lagi yang terakhir kali. Aku telah memberi 'hadiah' pada orang ceroboh itu. Sebagai jaminan loyalitas kami, kali ini orang yang kusuruh itu merupakan tangan kananku langsung, tentu saja, pelayanan nomor satu. Haha memang tak dapat dipungkiri andalah pelanggan prioritas kami. Ya, baiklah. Pengiriman akan sampai tiga hari lagi di tempat anda. Baik, senang berbisnis dengan anda." tukas pria itu lalu mematikan sambungan telepon. Pria paruh baya ini melonggarkan dasinya, lalu bergumam pelan tentang betapa menyenangkan berbisnis dalam bidang ini, "Uang terus mengalir masuk dengan nominal besar".

JRAASSH!

Tak pernah terlintas dalam pikir pria paruh baya ini, bahwa malam ini tenggorokannya akan ditembus oleh sebilah besi tajam, pedang. Kursi kulit mahalnya tak dapat menahan tajamnya pedang milik sosok jangkung yang kini berlutut di baliknya, tepat sasaran tanpa perlu terkena cipratan darah korban. Pria paruh baya yang baru menyadari apa yang terjadi tak dapat memanggil penjaga atau siapapun yang ada di sana, bahkan untuk mengerang kesakitan pun tiada suara yang dapat dikeluarkan. Seketika tubuhnya mengejang, matanya melotot -entah kesakitan atau karena kemarahan- merasa nyawa mulai meninggalkan jasadnya tanpa pernah mampu mengetahui siapa pelaku yang menciptakan skenario dadakan ini.

Merasa telah melumpuhkan korbannya, sosok jangkung ini melepas cengkeraman pada pedangnya dan berjalan ke sisi meja kerja pria itu. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana hitamnya, lalu menancapkan benda itu ke laptop, mata dan tangannya bekerja cepat memindai monitor, membuka dan menyalin beberapa folder berisi berkas bisnis penting milik si korban lalu mencabut benda kecil tersebut. Terakhir, ia membersihkan segala kegiatan yang baru saja dilakukannya dari memori proses laptop, sehingga tidak akan terdeteksi, kecuali para polisi pemalas itu terpikirkan untuk mengorek-ngorek sistem data laptop korban hingga ke dasar. Ia menyeringai, memberi apresiasi dalam hati atas betapa jenius dirinya. Pandangannya beralih pada korban yang masih melotot ke arahnya, terlihat seperti hendak menyumpahi namun hanya urat di leher korban yang mampu menggambarkan. Sosok ini menyeringai di balik maskernya sambil berjalan ke balik kursi kerja yang tinggi lalu menarik pedangnya dari tubuh korban, darah menyiprat dari tempat dicabutnya pedang itu, membanjiri tubuh korban serta meja kerja dan sekitarnya dengan darah segar. Segera ruang di lantai tiga tersebut berbau anyir. Sosok jangkung ini pun pergi meninggalkan tkp tanpa jejak.

-

Samurai of the Crescent (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang