"LIDYAAAA BANGUUNNN UDAH SIANGGGG!"
Sebuah teriakan langsung membuat seorang gadis membuka matanya lebar-lebar. Bagaimana tidak, ia sedang asyik di alam mimpi malah dibangunkan dengan teriakan super keras langsung ke telinganya. Alhasil, gadis yang diteriaki Lidya itu kaget bukan main.
"BISA NGGAK NGEBANGUNINNYA SANTAI DIKIT! TELINGA ORANG BISA TULI LAMA-LAMA!"
"Iya-iya maaf. Jangan ngegas dong," ucap gadis lain si pelaku teriakan keras tadi.
"GIMANA NGGAK NGEGAS! HAMPIR SETIAP HARI AKU DIGINIIN! KESEL TAU!"
"Ya lagian, siapa suruh susah dibangunin. Dari tadi udah aku pukul-pukul tapi belum bangun juga. Ya jadinya pake cara yang paling ampuh aja."
"Au ah! Awas! Aku mau mandi!" Lidya pun mendorong tubuh gadis itu dengan paksa.
"Dih ngambek."
Gadis itu pun keluar kamar dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tangannya dengan lihai mempersiapkan sarapan untuk mereka berdua. Dalam sekejap, 2 telur dadar berhasil ia buat. Dilanjutkan dengan menata roti yang sudah selesai dipanggang.
"MEL! AMBILIN HANDUK."
Mendengar teriakan tersebut, gadis itu pun segera berlari ke kamar dan mengambilkan handuk untuk Lidya. "Lid, ini handuknya," ucapnya setelah berada di depan kamar mandi.
Pintu kamar mandi sedikit terbuka, Lidya lalu mengeluarkan kepalanya sedikit.
"Thanks," ucap Lidya setelah mengambil handuk tersebut sembari tersenyum.
"Kebiasaan banget lupa bawa handuk."
"Hehehe kan ada kamu yang ngambilin."
"Ckckck ya udah cepetan, sarapan udah siap tuh."
"Siap laksanakan!"
Setelah beberapa menit, Lidya akhirnya selesai dengan urusan mandinya. Lidya langsung bergabung dengan Melody yang sudah duduk manis sambil memegang handpone-nya.
"Hayo! Lagi chating sama siapa?" Lidya mencoba mengagetkan Melody.
"Sama pacarlah," ucap Melody tanpa melihat ke arah Lidya.
"Ish... Sombong banget. Palingan nggak nyampe sebulan kaya yang udah-udah." Lidya mengambil roti dan mengolesinya dengan selai coklat.
"Sorry ya, yang ini beda. Aku yakin dia pasti jodoh yang Tuhan kirimkan buat aku. Dia baik banget, Lid!" Melody bercerita dengan sangat antusias.
"Halah... Waktu sama si kutu buku juga gitu. Tapi apa? Putus juga kan?"
"Kamu kok gitu sih. Temen lagi kasmaran malah disumpahin putus." Melody cemberut menatap Lidya. Temannya yang satu ini memang sangat menyebalkan.
"Ya kan aku berusaha realistis aja. Dari zaman smp, sma sampe sekarang kuliah gitu mulu. Bilangnya baik, jodoh dari Tuhan-lah, sayang banget sama kamu-lah, udah dikenalin sama orang tuanya-lah, eh... Ujung-ujungnya melayang entah ke mana kaya layangan putus."
"Biarin wlek! Daripada kamu belum pernah pacaran sama sekali uuuu."
"Dih biarin. Aku itu menunggu yang tepat tahu. Kalo udah ketemu biar bisa langsung nikah."
"Iya dah iya. Terserah kamu." Melody menuangkan jus apel ke dalam gelas Lidya lalu berlanjut ke dalam gelas miliknya. "Nanti aku pulang malem, ya? Mau jalan bentar."
Lidya mengangguk sambil menguyah makanannya. "Inget oleh-oleh."
"Lilin aromaterapi?"
Lidya mengangguk lagi. Melody memang sangat mengerti tentang dirinya. Tidak percuma sudah kenal sejak kecil, tanpa Lidya minta Melody sudah tahu apa yang ia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Words [Short Story]
FanfictionKetika persahabatan melahirkan rasa yang berbeda. Membuat darah berdesir saat bertemu, membuat jantung rasanya ingin copot saat berdekatan, membuat hati terasa panas karena api cemburu. Namun, rasa itu terlalu sulit untuk diungkapkan dan terlalu men...