Kelas terakhir sudah selesai 10 menit yang lalu. Setelah merapikan buku-bukunya, Lidya pun bersiap untuk pulang.
Langkah kakinya terhenti saat melihat Melody sedang berbincang dengan seseorang di area depan kampus. Lidya lalu berjalan mendekat ke arah Melody."Mel," panggilnya yang membuat Melody langsung menoleh.
"Eh? Lidya. Kelas kamu udah selesai?"
"Udah," jawab Lidya singkat lalu beralih menatap seorang pria yang berdiri di depan Melody. Mengerti ke mana arah tatapan Lidya, Melody pun langsung mengerti.
"Eh iya, Kenalin ini Keenan, pacar aku," ucap Melody sedikit tersipu.
Keenan yang baru saja diperkenalkan langsung mengulurkan tangannya sembari tersenyum. "Keenan."
Lidya menatap datar pada tangan Keenan. Untuk sepersekian detik ia hanya diam seperti enggan untuk menjabat tangan pacar Melody tersebut.
"Lidya," ucap Lidya akhirnya sambil menjabat tangan Keenan.
"Oh iya Lid, kita mau nonton nih, ikut yuk?" Ajak Melody menatap ke arah Lidya.
"Mnnn... Gimana ya, tugas gue masih banyak nih kayanya nggak bisa deh. Lagian gue nggak mau ganggu acara kencan kalian."
"Ikut aja, nanti habis nonton aku bantuin deh bikin tugasnya, ya? ya? ya? Lagian nggak ganggu kok, ya kan Nan?"
"Iya, gapapa kok Lid. Santai aja."
"Enggak deh, tugas gue masih banyak banget, beneran deh. Kalo enggak gue pasti ikut."
"Yah... Beneran nggak mau ikut? Aku traktir deh." Melody masih mencoba membujuk Lidya agar ikut bersama mereka.
Lidya hanya menggeleng sambil tersenyum kecil.
"Beneran?"
Lidya hanya mengangguk.
"Tumben kata traktir nggak berhasil. Hmnn... ya udah kalo nggak mau. Aku jalan berdua aja kalo gitu. Nanti pulangnya mau dibeliin apa?"
"Apa aja terserah."
"Ya udah, aku pergi dulu ya. Bye Lids." Melody pun melambaikan tangannya ke arah Lidya. Lidya hanya tersenyum kecil menatap Melody yang mulai masuk ke dalam mobil Keenan.
"Duluan ya, Lid." Keenan ikut berpamitan. Lagi-lagi Lidya hanya tersenyum kecil tanpa berniat menjawab pernyataan Keenan.
Setelah mobil hitam yang membawa Melody pergi, Lidya pun melanjutkan langkahnya. Ia berhenti di
sebuah halte dan busway pun datang untuk membawanya pulang.Sampai di apartemen, Lidya langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Badannya terlentang dengan mata yang menatap langit-langit kamar.
Ia mengambil napas dalam lalu mengeluarkannya. Dadanya masih terasa sesak meski hal itu ia lakukan berulang kali.
"Sampai kapan harus kaya gini? aku udah capek, Mel."
Lidya menoleh ke tempat di sampingnya. Tempat itu adalah tempat Melody biasanya tidur.
"Aku harus gimana?" Ucapnya lirih.
Lagi dan lagi, Lidya hanya bisa menghembuskan napas dalam. Perasaannya benar-benar kacau saat ini. Melihat Melody tersenyum begitu lebar karena orang lain membuat dadanya terasa panas. Ingin rasanya membawa Melody pergi dari hadapan Keenan. Membawanya pulang untuk bersama dengannya.
"Hhhh..."
Jika saja Lidya adalah seorang laki-laki seperti Keenan, tentu hal ini tidak akan menjadi rumit seperi sekarang. Apa yang ia rasakan untuk Melody sudah terlalu jauh. Lidya sempat menolak apa yang ia rasakan untuk Melody. Berusaha sekuat mungkin untuk menjauh dan membuang rasa yang merasuki dirinya. Namun, hal itu justru membuatnya menderita. Ia tidak bisa jika jauh dengan Melody. Hatinya menginginkan Melody untuk selalu bersamanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Words [Short Story]
FanfictionKetika persahabatan melahirkan rasa yang berbeda. Membuat darah berdesir saat bertemu, membuat jantung rasanya ingin copot saat berdekatan, membuat hati terasa panas karena api cemburu. Namun, rasa itu terlalu sulit untuk diungkapkan dan terlalu men...