#4 [Ending]

781 85 8
                                    

"Aku udah putus sama Keenan," ucap Melody tiba-tiba.

Lidya seketika terduduk. "Kok bisa?"

"Udah bosen sama dia."

"Loh? Bukannya dia itu katanya jodoh dari Tuhan." Lidya tersenyum mengejek.

"Awal-awal sih iya. Tapi makin ke sini, aku ngerasa beda."

"Tuh kan apa aku bilang, akhirnya pasti putus juga."

"Jangan-jangan kamu jampi-jampi ya biar aku putus sama Keenan. Hayo ngaku." Melody menunjuk Lidya penuh curiga.

"Idih... Ngapain coba. Nggak ada kerjaan."

"Apanya yang enggak, kan aku ini sangat berharga." Melody menaik turunkan alisnya menggoda Lidya.

"Apaan sih." Lidya tersenyum kecil. Tidak bisa dipungkiri, kabar putusnya Melody dan Keenan membuat hatinya lega.

"Kan kamu yang bilang sendiri."

Lidya berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang Melody bicarakan. "Emang iya? Kapan aku bilangnya? Perasaan kamu aja kali."

"Iih Lidya mah gitu! Kebiasaan... susah banget kalo ngaku perhatian sama orang."

"Enggak tahu, sok tahu ah."

"Iya, emang kenyataannya gitu. Ngaku nggak?!"

"Orang enggak yeee..."

"Ish!" Melody cemberut dengan tangan yang dilipat di dada. Ia pun membelakangi Lidya yang malah senyum-senyum di belakangnya.

"Cieee ngambek nih... Gitu aja marah." Lidya menyenggol bahu sahabatnya itu yang langsung ditepis oleh Melody.

"Enggak," ucap Melody ketus.

"Iya." Lidya malah semakin gencar menggoda Melody. Ia terus menunjuk-nunjuk punggung Melody.

Melody berbalik. "Iih apaan sih! Diem nggak!"

Mereka langsung terdiam. Bagaimana tidak, wajah keduanya sangat dekat. Hembusan napas keduanya bisa mereka rasakan satu sama lain.

Lidya malah tersenyum. Ia kemudian mencium pipi Melody lembut. "Jangan ngambek lagi, ya?" ucapnya sembari tersenyum.

Anehnya Melody hanya diam mematung. Ia tidak menjawab pertanyaan itu. Ia terlalu larut akan perasaannya sendiri.

***

Melody berdiri terdiam menghadap kaca transparan apartemen. Lokasi apartemen yang cukup tinggi membuatnya bisa melihat hiruk pikuk ibukota di bawah sana. Jika awalnya menakutkan baginya, tapi sekarang Melody sudah terbiasa dan justru tempat itu menjadi tempat favoritnya untuk merenung.

Melody menghela napas dalam. Entah kenapa begitu banyak hal yang ia pikirkan akhir-akhir ini. Mulai dari tugas kuliah yang seabrek, Keenan yang masih mengharapkannya dan juga Lidya.

Jika dibandingkan, Lidya-lah yang membuatnya berpikir begitu keras akhir-akhir ini. Gadis itu sangat menyita perhatiannya. Bukan seperti biasanya, tapi ada sesuatu yang sangat menarik dari sosok itu.

Dari tatapan matanya, perlakuannya, hingga kebiasaan anehnya, membuat Melody selalu ingin memperhatikan Lidya. Seolah ia terjebak akan pesona gadis itu.

Melody menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kamu mikir apaan sih, Mel."

"Nggak... Nggak... Lidya itu cuma temen. Perasaan kamu itu sebatas temen, Mel."

Melody mencoba menguatkan dirinya. Meski sebenarnya ia mulai menyadari kalau dirinya merasakan ada sesuatu yang aneh saat ia bersama dengan Lidya. Ia seperti merasakan perasaan itu. Perasaan saat ia mulai tertarik dengan seseorang. Perasaan tertarik yang melebihi teman biasa. Perasaan yang pernah ia rasakan terhadap lawan jenis.

Unspoken Words [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang